Chapter 2 - 1. Adopsi

Di dalam salah satu sel tahanan khusus remaja di sebuah penjara yang terletak di bilangan Jakarta Timur, seorang pemudah tengah berbaring menatap langit-langit ruangan selnya yang dipenuhi oleh warna keabu-abuan.

Seseorang dengan luka lebam dan juga bekas sayatan-sayatan senjata tajam itu merebahkan tubuh lelahnya di lantai yang dingin dalam ruangan tanpa tempat tidur itu, dengan jeruji besi sebagai penghalangnya melihat dunia luar.

Rizaldy Pradipta, seorang lelaki yang baru saja dipindahkan ke sel tahanan khusus untuk orang-orang yang bersikap kurang baik selama masa tahanan. Bentuknya lebih menjijikan dari kamar mayat. Tanpa tempat tidur, bahkan untuk membuang zat sisa metabolisme tubuh berupa feses saja hanya disediakan sebuah ember yang akan diganti setiap pagi.

Alasan mengapa Aldy dimasukkan ke dalam sel tahanan khusus tersebut adalah dua hari lalu ia bermasalah dengan anak seusianya yang sama-sama masuk penjara remaja, namun saat Aldy berusaha dipisahkan oleh petugas lapas, ia tak sengaja menyikut hidung salah satu petugas yang membuatnya langsung patah dan berdarah.

Kini, Aldy harus tinggal di dalam sel khusus selama seminggu sebelum bisa kembali ke sel lamanya.

Dan luka-luka di tubuhnya dihasilkan oleh perkelahian itu. Bagaimana Aldy tidak terluka saat ia harus menghadapi dua puluh orang lebih sekaligus dan di antara mereka ada yang menyembunyikan senjata tajam berupa silet dan juga sebilah badik yang entah bisa diselundupkan dari mana.

Aldy hanya bisa menghembuskan napas jengah dan kembali menutup kedua kelopak matanya. Dalam benaknya, ia tidak mengharapkan apapun. Sekedar mendapat ketenangan saja sudah cukup baginya.

Namun ketenangan yang baru berlalu beberapa menit itu dihancurkan saar seorang petugas penjara membuka pintu sel tahanan khusus yang Aldy tempati.

"Bangun lo, ada yang mau ketemu." ucapnya sambil melemparkan borgol ke samping tubuh Aldy, mengisyaratkannya untuk memakai borgol itu sendiri.

Aldy terdiam.

Dengan sebuah borgol di genggamannya, bisa saja ia menghajar petugas lapas yang mendatanginya itu lalu memborgol tangan petugas itu dan mengurungnya di dalam sel tempatnya berada. Dengan begitu, ia bisa mengendap-endap keluar dari penjara setelah melucuti pakaian petugas yang dikalahkannya itu.

Namun niatnya seakan sirna oleh kenyataan bahwa ada seseorang yang datang menjenguknya di penjara. Hal itu lebih menarik perhatian seorang Aldy ketimbang rencana kaburnya sendiri.

Aldy bangkit dari posisi baringnya di lantai sel tahanan yang dingin dank eras itu, memakai borgol di kedua pergelangan tangannya sendiri dan berdiri. Ia berjalan di belakang petugas itu, mengikutinya hingga tiba di sebuah ruangan yang sepertinya dikhususkan untuk tamu yang ingin mengunjungi penghuni penjara.

Tubuh Aldy didorong masuk dengan kasar sebelum pintunya ditutup. Aldy sempat berbalik dan berniat ingin mematahkan hidung petugas itu dengan tinjunya, namun pintu ruangan itu sudah dikunci dari luar. Ia tidak memiliki pilihan lain selain duduk di sebuah bangku yang berada di hadapan kaca transparan.

Dari balik kaca transparan itu terlihat seorang pria yang sepertinya berada di pertengahan usia kepala empat-nya, dandanan rapih walau sedikit norak. Dan hal yang paling mengganggu Aldy adalah, lelaki itu tersenyum ke arahnya dari seberang kaca transparan itu. Hal itu lumayan mengganggunya karena ia tidak mengerti apa maksud orang yang asing baginya tersenyum seperti itu.

"Anda siapa? Ada urusan apa sama saya?" tanya Aldy tanpa basa-basi. Lelaki itu masih saja tersenyum ke arah Aldy, belum mengatakan apapun. Aldy pun kehilangan kesabaran dan beranjak dari tempat duduknya.

Baru saja Aldy ingin melangkahkan kakinya menuju pintu tempatnya masuk tadi ke ruangan itu, akhirnya si pria yang mengunjunginya pun berbicara, membuat Aldy menghentikan langkahnya.

"Rizaldy Pradipta, betul?"

Aldy menghentikan langkahnya, ia berbalik dan kembali duduk di kursinya semula. Menatap datar ke arah lelaki yang berada di seberang kaca transparan yang memisahkan mereka itu tanpa ekspresi. Aldy mengangkat dagunya sekilas, membuat gestur seolah menyuruh pria yang masih asing baginya itu untuk menerutkan kata-katanya.

Alih-alih melanjutkan kata-katanya, pria itu kembali tersenyum seperti tadi.

Aldy menghembuskan napas jengah. "Kalo anda ga mau ngomong, mending anda pergi, biar saya bisa tidur dengan tenang."

"Kamu sudah besar ternyata." ucap lelaki yang masih asing bagi Aldy itu.

Aldy mengerutkan keningnya, "Anda kenal sama saya?"

"Tentu. Kamu ga ingat ya?"

Kini Aldy benar-benar kehilangan kesabarannya. "Bisa sudahi omong kosong ini? Kalo anda masih mau muter-muter ngomongnya, saya bisa mulai nyoba mecahin kaca di depan kita ini pake kursi yang saya duduki, dan kita bisa berantem sepuas anda."

Pria itu malah menyunggingkan senyuman pada Aldy, dan Aldy menganggap hal itu sebagai sebuah ejekan. Tanpa berlama-lama, Aldy kembali berdiri dan kini kedua tangannya sudah menggenggam kursi besi yang tadi ia duduki. Aldy mengangkatnya, dan saat itu juga petugas penjara yang membawanya ke ruangan itupun masuk dari pintu dan ingin membungkam Aldy.

Pria yang membuat Aldy kehabisan kesabarannya itu mengangkat tangannya, membuat gestur seakan menyuruh petugas itu menghentikan niatnya untuk membekuk Aldy dan menyuruhnya keluar. Petugas itu mengarahkan pandangannya ke arah Aldy dan pria yang berada di seberang kaca transparan itu berulang-ulang sebelum akhirnya menganggukkan kepala dan kembali keluar dari ruangan tempat Aldy dan pria itu berada.

Aldy pun menurunkan kembali kursinya.

Pria itu menegakkan posisi duduknya yang tadinya bersandar pada kepala kursi dan menatap Aldy dengan tatapan serius, meskipun masih menyunggingkan ekspresi yang lumayan hangat. "Sepertinya kamu tipikal orang yang ga suka bertele-tele. Oke, saya mengerti. Langsung ke intinya saja. Perkenalkan, saya Heri Wijaya. Kalo kamu masih ingat, dulu saya sahabat dekat almarhum papah kamu. Sebelum beliau meninggal, beliau sempat minta sama saya buat ngambil kamu, tapi saat itu keadaan saya masih susah. Sekarang, saya sudah siap untuk mengemban tanggung jawab itu dan ingin mengadopsi kamu langsung di sini."

Penjelasan yang panjang lebar itu membuat Aldy terdiam. Ia memilih kembali duduk di kursi yang sebelumnya ingin ia gunakan untuk memecahkan kaca di hadapannya.

"Gimana, kamu mau kan tinggal sama saya?"

Aldy masih belum menjawabnya. Yang ada di pikirannya adalah masa tahanannya yang masih sekitar empat bulan. Bayangan tentang sel tahanan khusus yang sedang ia tempati, dan hari-hari yang keras selama di penjara. Belum lagi saat masa tahanannya selesai nanti, apakah ia masih bisa menjalani kehidupan normal sebagai seorang remaja berstatus mantan narapidana?

Dari penampilannya sekilas, sepertinya pria itu tidak berbohong tentang kapasitasnya. Aldy tidak pernah memikirkan soal harta, karena selama ini ia menjalani hidupnya dengan sederhana dan pikirannya juga sebatas apa yang bisa ia lakukan agar keesokan harinya masih bisa makan dan menyambung hidup dari hari ke hari.

"Anda yakin?" tanya Aldy memastikan.

"Kenapa engga?" balasnya.

"Maksud saya … anda yakin, mau ngadopsi seseorang seperti saya? Ga perlu dijelasin lagi kan tempat apa ini? Dan mungkin saya ga sesuai ekspektasi anda. Daripada anda kecewa nantinya ngadopsi anak kayak saya, dan akhirnya saya kembali hidup di jalanan. Mending ga usah."

Heri tersenyum ramah pada Aldy. Ia bisa memaklumi sikap yang Aldy tunjukkan. Dari sorot matanya, ia bisa melihat bahwa Aldy sengaja memamerkan sifat kerasnya di luar, sedangkan sorot mata itu tidak bisa berbohong. Heri dapat merasakannya, dari sorot mata Aldy, anak itu sebenarnya sangat rapuh.

Sikap keras yang ia tunjukkan di luar hanyalah sebuah tameng untuk melindungi retakan-retakan di hatinya yang bisa hancur kapan saja.

Heri menggeleng pelan. "Jujur, saya juga ga bisa jamin kalau saya akan jadi orangtua yang cukup baik bagi kamu. Tapi satu yang harus kamu tahu, niat saya tulus untuk mendatangi kamu di sini. Tapi, itu semua tergantung sama kamu. Kalau kamu masih belum bisa menerima saya, saya bisa mengerti dan akan ngasih kamu waktu."

Setelah mendengar hal itu, pikiran Aldy kembali dipenuhi dengan hari-hari keras yang mau tak mau ia jalani kedepannya jika ia menolak tawaran pria yang mengaku sebagai sahabat lama mendiang ayahnya yang kini datang untuk mengadopsinya dari penjara khusus remaja ini.

Untuk beberapa saat, suasana begitu hening. Hingga keheningan itu terpecahkan oleh jawaban yang keluar dari mulut Aldy.

"Oke."

Sebuah jawaban yang sangat singkat, namun hal itu membuat Heri tak dapat menyembunyikan ekspresi penuh kebahagiaannya.

Aldy masih belum paham, kenapa Heri sangat bersikeras ingin mengadopsi seseorang sepertinya. Entahlah. Setidaknya, yang Aldy tahu sekarang adalah, dia akan segera keluar dari penjara dan memiliki keluarga baru.

Ia belum mengetahui apapun tentang orang yang ingin mengadopsinya itu. Menurutnya, hal itu bisa ia cari tahu nanti. Aldy belum berpikir sampai ke hal-hal seperti membiasakan sikapnya di tempat tinggal dan lingkungan yang baru, bagaimana ia bersikap di depan keluarga Heri dan lain sebagainya.

Yang Aldy rasakan sekarang hanyalah rasa syukur.

Walau tak ditunjukkannya di luar, tapi ia merasa sangat bersyukur, masih ada orang yang peduli dengannya.

Di balik sifat keras dan juga perangainya yang tanpa ampun, Rizaldy Pradipta masihlah seorang anak yang membutuhkan kasih sayang yang sudah sangat lama ia dambakan semenjak kepergian kedua orangtuanya.

Entah apa yang akan terjadi selanjutnya.

Intinya, sebuah lembar hidup baru bagi Aldy dimulai dari detik itu juga.