Chapter 12 - Mimpi

"Permaisuriku. Permaisuriku. permaisuriku. Permaisuriku. Permaisuriku. Permaisuriku..."

"Hah!"

Tasia terlonjak dari tidur dengan mata terbelalak dan keringat yang sudah membasahi seluruh tubuhnya.

'Apa itu?! Mimpi?!' Pikirnya santungnya berdegub keras.

Tasia segera menekan tombol lampu meja berbentuk jamur merah yang terletak manis di atas meja belajar samping tempat tidurnya.

Ctik! Lampu berukuran dua puluh centimeter itu mengeluarkan cahaya putih redup yang menjadi agak merah kerena warna cangkang lampu tersebut.

Tasia mengusap keningnya dan menyadari tubuhnya sudah terlilit oleh selimut dari pinggang hingga ke bawah. Hal yang jarang sekali terjadi, terlebih karena gaya tidur Tasia bisa dibilang tenang. Ia biasanya terbangun dalam kondisi selimut masih cukup rapih menutup tubuhnya dari leher ke bawah.

"Pantas saja panas sekali. Bagainana selimutnya bisa melilit tubuhku sampai seperti ini?" Gumam Tasia seraya melepaskan selimutnya.

"Ugh! Sehabis kejadian tadi siang, anak itu jadi menghantuiku di dalam mimpi!" Ia mengomel sendiri.

Tasia mengingat kembali kejadian saat makan siang tadi, di mana Hadyan, si anak gila itu, tiba-tiba menepak sendok dari tangan Patra saat sedang menyuapinya.

Bahkan sendok itu sampai mental cukup jauh dan mengotori lantai hingga mereka berakhir mendapat omelan oleh petugas kebersihan sekolah yang sekebetulan berada di dekat sana.

Petugas kebersihan itu berkata bahwa mereka bercanda keterlaluan hingga tidak menghargai petugas kebersihan sekolah.

Namun yang aneh adalah, dengan santai dan tanpa rasa bersalah, si Hadyan beralasan ada lalat yang tadinya ingin ia usir. Namun tangannya meleset dari lalat hingga menampar sendok bubur Patra.

Tasia mendengus lagi. Lalu segera merapihkan selimut yang sempat membuatnya sesak itu. Kemudian, dengan langkah jengkel dan malas, ia menghampiri meja semi lemari setinggi pinggang yang terletak di bawah jendela, tempat ia menyimpan dalaman dan baju tidur.

Di atas lemari itu, terpajang beberapa jajaran foto-foto Tasia ketika ia masih kecil. Itu adalah fotonya bersama keluarga dan teman-temannya. Dan ia juga meletakkan ponsel dan air minum di atas lemari yang sama.

"Ponsel harus dijauhkan dari kepala saat kita tidur. Radiasinya berbahaya," Itulah kata-kata ibunya dulu ketika ia mulai dipercayakan untuk memiliki ponsel pribadi. Saat itu, Tasia mendapat ponsel butut namun berhasil membuatnya senang bukan main.

Tasia mengambil sebuah gelas kaca berbentuk lonjong tinggi berwarna hijau dengan gambar-gambar kepala katak kartun. Kemudian, ia membuka penutup gelas itu dan mulai meneguk air hangat yang sudah menjadi dingin karena terlalu lama diletakkan di bawah pendingin ruangan.

"Hm.. Siapa itu? Jam berapa sekarang?" Gumamnya dengan mentap jendela.

Tasia segera melirik jam yang bertengger di dinding kamarnya. Waktu menunjukkan pukul tiga pagi.

'Tiga pagi?! Siapa yang berdiri di pinggir gang seperti itu? Jangan-jangan hantu!' Pikirnya dalam hati, masih dalam posisi minum. Namun gelas itu hanya menempel di mulutnya saja.

Tasia terus memperhatikan sosok tinggi yang berdiri di tengah-tengah jalan gang depan rumahnya itu. Dan ia semakin sadar bahwa sosok itu bukanlah hantu, melainkan seorang pria yang tengah berdiri memperhatikan jendela kamarnya.

Jantung Tasia berdegub keras ketika dengan sangat perlahan, ia mulai berjongkok untuk menyembunyikan tubuhnya dari pandangan pria misterius itu.

'Dia memerhatikan aku! Jangan-jangan itu penguntit! Yampun.. Aku takut sekali!' Seru Tasia dalam hati.

'Tapi.. Tunggu dulu. Kaca jendelaku hanya bisa tertembus pandang dari sisi dalam, 'kan? Bagaimana mungkin dia bisa melihat diriku melalui jendela ini dari luar?'

Lalu Tasia memberanikan diri untuk bangkit berdiri dan mengintip ke jendela lagi. Dan betapa terkejutnya ia, ternyata pria itu masih berdiri di sana, dalam posisi yang sama.

'Wajahnya tidak kelihatan. Itu siapa, ya?' Pikir Tasia lagi.

Tasia bergidik ngeri, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Sekarang ini, ia tinggal bersama tante dan omnya, bukan orangtuanya sendiri, sehingga tidak mungkin ia membangunkan mereka atas hal kecil semacam ini.

Sebisa mungkin, Tasia tidak mau menyusahkan mereka, karena bagaimanapun, ia hanya menumpang tinggal di sini.

Dengan perlahan, Tasia melangkah kembali ke tempat tidurnya setelah menggeser gorden biru langit bergambar awan untuk menutupi jendela itu.

Jantungnya berdebar mengiringi ketakutan dan rasa bingungnya. Sepanjang jam, ia berpikir siapa gerangan atau apa itu yang berdiri memperhatikan jendelannya, hingga akhirnya tanpa sadar ia kembali terlelap.

***

"Ada yang memperhatikan jendela kamarku semalam. Dia memperhatikannya seakan tahu ada aku yang juga sedang melihatnya dari dalam. Aku merasa seperti ia memperhatikan diriku. Itu sangat mengerikan!" Ucap Tasiam

"Tidak mungkin. Kaca jendelamu hanya bisa tembus pandang dari sisi dalam. Itu adalah kaca satu sisi. Mungkin ia adalah orang yang ingin merampok rumahmu. Tapi tidak mungkin ia dapat melihatmu, Tasia. Itu hanya perasaanmu saja karna kau ketakutan." Sahut Jordi.

"Lebih baik kau memperingatkan seluruh orang rumahmu, lalu menghubungi polisi. Itu sangat berbahaya." Tata menyarankan dengan serius.

"Benar, Tasia. Terlebih nenekmu sakit pikun." Marya menambahkan.

"Em.. Baiklah," Angguknya.

Bel berbunyi dan mereka semua kembali ke kelas masing-masing untuk memulai aktifitas belajar mereka.

"Hai.. Apakah nanti aku boleh makan bersama kalian lagi?" Tiba-tiba Hadyan menghampiri Tata dan Tasia yang sedang mengobrol di tengah pergantian jam pelajaran di meja mereka.

"Oh? Tentu saja boleh,." Sahut Tata ramah.

"Tidak ada yang keberatan, 'kan?" Hadyan menaikkan salah satu alisnya, memandangi Tasia yang tampak tegang.

Tasia menggeleng dengan senyum kaku.

"Tidak ada. Santai saja," Jawab Tata setengah tertawa, lebih kepada sikap Tasia yang aneh.

"Baiklah. Trimakasih kalau begitu," Senyum Hadyan sebelum kembali ke tempat duduknya.

"Kau itu kenapa sih, Tasia?" Tanya Tata geli.

Tasia menggeleng lemah. "Entahlah.."

"Apa kau menyukainya?"

"Apa? Yang benar saja! Aku takut padanya!" Tasia melotot terkejut.

"Hm.. Jadi kau masih takut tanpa sebab, yah? Bagaimana jika kau mencoba mengobrol ringan dengannya? Mungkin ketakutan anehmu yang tidak masuk akal itu akan hilang." Saran Tata.

"A-aku kurang yakin..." Gumam Tasia.

"Hadyan tidak akan menculik atau melakukan hal buruk padamu, Tasia. Ketakutan itu tidak beralasan, tidak mendasar, dan tidak masuk akal. Malah, hal itu mungkin akan membuat Hadyan tidak nyaman dan merasa serba salah jika berada di dekatmu," Jelas Tatam

Tasia mengangguk. Mau tidak mau, ia harus setuju pada kata-kata Tata karena itu sangat masuk akal.

Sebenarnya, Tasia pun merasa bersalah terhadap Hadyan. Namun perasaan takut itu selalu muncul saja secara tiba-tiba bagai sebuah ruangan yang mendadak mati lampu dan menjadi gelap hingga membuat rasa ketakutan Tasia mendadak muncul dan tidak dapat ia kendalikan. Itu membuatnya merasa tidak aman.

Tasia melirik ke belakang untuk memantau Hadyan. Lalu ia tercekat dan membalas dengan kikuk pada senyum Hadyan yang ternyata sedang memerhatikan dirinya.

'Itu hanya kebetulan. Karena aku menengok ke belakang, otomatis ia akan langsung melihat ke arahku. Tidak ada yang aneh.. Tidak ada!' Seru Tasia di dalam hati untuk memperingati dirinya sendiri.