Chapter 21 - Bekas Tangan

Tangan dingin Hadyan membuat Tasia merinding hingga ia segera menarik lepas lengannya.

Tidak ingin memperpanjang masalah, Tasia tidak berminat membalas. Ia hanya kembali melangkah dan memencet tombol bel dengan mata yang terus membidik ke belakang, di mana Hadyan masih berdiri menatapnya di tempat yang sama.

Sebuah kengerian jelas menggerayangi punuk Tasia, mengingat apa yang bisa pria itu lakukan.

Tasia memencet bel beberapa kali dengan tidak sabar hingga membuat suara bel menjadi mengganggu.

Tidak lama kemudian, terlihat pintu utama rumah Tasia terbuka dan nampak pula seorang nenek berwajah ramah datang dengan kunci untuk membuka gembok pagar. Ia adalah nenek Tasia.

"Tasia pulang, Nek," Sapa gadis bermata bulat itu dengan ramah dan penuh senyuman.

Tasia sangat hebat. Ia bisa mengubah suasana hati dan ekspresi wajahnya hanya dalam sekejap hingga membuat Hadyan semakin terheran sekaligus kagum padanya.

Hadyan perlahan melangkah mendekat, berniat sopan untuk menyapa nenek Tasia juga. Ia tersenyum manis meski tidak ada yang menanggapi.

Pagar terbuka dan bersamaan dengan itu, tangan ringan sang nenek mendarat keras di pipi mulus cucunya.

Hadyan tersontak, lalu dengan sigap menarik Tasia mundur beberapa langkah untuk melindungi gadis itu di belakang punggungnya.

Ia sangat terkejut atas apa yang baru saja ia saksikan. Hadyan tidak menyangka nenek berwajah bersahabat itu tega menampar cucunya sendiri dengan sebegitu keras tanpa alasan yang jelas.

"Dasar anak tidak tahu diuntung! Untuk apa kau pulang jam segini?! Sudah aku duga kau bukan pergi ke sekolah, tapi malah pergi main-main! Berkeliaran seperti binatang liar! Binatang liar yang menunggu tertabrak oleh mobil! Pergi saja kau dari sini! Pergi dari dunia ini!" Bentak sang nenek.

Tasia masih terdiam dengan kepala menunduk sambil memegangi pipinya yang terasa perih dan berdenyut. Separuh wajahnya tertutup oleh rambut halusnya, menutupi bagaimana air mengalir keluar dari kedua matanya.

"Apa yang kau lakukan?! Kenapa memukul Tasia?!" Tanya Hadyan kesal. Ia tidak terima calon pengantinnya dilukai seperti ini.

Jika itu bukan nenek Tasia, sudah ia pastikan orang itu sudah kehilangan tangannya bahkan sebelum sempat menyentuh calon permaisurinya!

"Bukan urusanmu! Pulang sana, dasar berandal!" Sahut nenek Tasia, lalu segara melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan mulut komat-kamit.

"Ka.. kau tidak apa-apa?" Hadyan segera memeriksa keadaan Tasia.

Terlihat Tasia menutupi isakan tangisnya. Meski begitu, pundaknya bergetar hebat, membuat Hadyan tidak tega sekaligus semakin meradang.

Hadyan membungkuk untuk melihat pipi Tasia yang terkena tamparan. Namun belum sempat ia melihatnya, Tasia segera menepis lunak tangan Hadyan yang berusaha menyentuh wajahnya yang masih tertutup rambut.

"Pulanglah, Hadyan. Aku baik-baik saja," Ia segera melewati pria itu.

"Tidak, Anastasia. Kau tidak baik-baik saja. Nenekmu memukulmu, dan itu adalah sesuatu yang tidak benar." Jawab Hadyan, enggan membiarkan Tasia masuk ke dalam rumah yang berisikan seorang nenek tua gila yang tega melukai cucunya sendiri.

"Pulanglah.. Ini bukan urusanmu." Sahut Tasia lemas. Suaranya yang serak seperti akan habis bagaikan sebuah palu yang dipukulkan pada gendang telinga Hadyan.

"Ta.. tapi.. Anastasia! Tunggu!" Panggil Hadyan pada Tasia yang melangkah masuk ke dalam tanpa mempedulikannya dan hilang di balik pintu utama.

'Apa yang terjadi?! Neneknya sudah gila! Berani-beraninya ia melukai calon permaisuriku!

Astaga, Anastasia.. Apa yang sebenarnya terjadi?' Pikir Hadyan.

Tiba-tiba, ponsel Hadyan berdering. Ia mengambil ponsel itu dari saku celana abu-abunya dan mengangkat panggilan itu setelah melihat nama 'MARYA' di sana.

"Ya? Ada apa, Marya?"

"Hadyan?! Kau ada di mana? Ibu Lensy mencarimu. Ia curiga kau kabur setelah mengantar Tasia. Cepat kembali! Aku menghawatirkanmu,"

"Baiklah, aku akan segera kembali. Terimakasih." Jawab Hadyan sebelum menutup panggilan.

"Sialan! Aku membenci keadaan seperti ini! Bagaimana aku bisa pergi saat keadaan Tasia mengkhawatirkan begini? Terkadang aku menyesal menyamar menjadi manusia dan terikat pada kehidupan dunia mereka yang serba terbatas," Gumam Hadyan frustasi.

Hadyan mendecak kesal lalu memalingkan pandangannya dari jendela kamar Tasia dan segera melangkah pergi menuju pangkalan ojek di depan komplek.

Tasia menyibak gorden yang dari tadi ia buka sedikit agar ia bisa mengintip keberadaan Hadyan. Ia menghela napas lega, masih memegangi pipinya yang sakit. Akhirnya pria gila itu pergi juga.

"Ngomong-ngomong, dari mana ia tahu ini kamarku? Oh ya.. aku lupa ia pengguna ilmu hitam. Sikap baiknya membuatku lupa orang seperti apa Hadyan sesungguhnya," Gumam Tasia.

Kemudian Tasia melangkah ke kamar mandi dan berhenti di depan wastafel, menyalakan keran, dan membasuh wajahnya yang lengket terkena air mata, keringat, dan udara panas di luar.

Ia menatap cermin yang tergantung di depan wajahnya. Tamparan itu meninggalkan bekas jiplakan telapak tangan berwarna kemerahan di pipinya yang mulus.

"Keadaan nenek semakin parah. Kenapa? Kenapa bahkan ia sekarang sanggup memukulku?" Gumam Tasia dengan suara bergetar.

Air mata Tasia mulai mengalir kembali. Ia tidak kuasa menahan rasa sakit di dalam dadanya. Itu adalah sakit yang lebih besar dari luka tamparan yang masih berdenyut itu.

Ia merasa waktunya untuk bisa merasa bahagia semakin terkikis habis. Ia merasa dirinya tidak akan pernah bahagia lagi. Kebahagiaannya telah berhenti bertahun-tahun yang lalu, dan perlahan mulai memudar dimakan waktu.

Mata Tasia menyorot luka lebam di pinggangnya. Luka itu kian memudar, lebih drastis dari perkiraannya. Hal itu membuatnya teringat pada sosok Hadyan.

"Apa yang harus aku lakukan pada Hadyan? Ia sungguh-sungguh pengguna ilmu hitam. Ia bahkan bisa mengendalikanku, membuatku sakit, dan lemas. Aku berada dalam bahaya! Bagaimana jika nanti ia berani bertindak lebih jauh? Menggunakan ilmu gaib untuk membuatku jatuh cinta padanya?"

Tasia meringis. "Ya Tuhan! Tolonglah aku! Berapa banyak masalah lagi yang harus aku alami? Tidak bisakah aku hidup dengan tenang?!"

Setelah selesai mencuci muka, Tasia segera mengganti pakainnya lalu berbaring di tempat tidur. Kepalanya terasa berdenyut akibat terlalu banyak menangis dan juga pipinya semakin sakit.

Ia memegangi pipinya itu sambil menatap langit-langit kamar. Anehnya, wajah Hadyan selalu muncul disaat ia berkedip. Kelihatannya bayangan Hadyan menjadi memenuhi kepalanya setelah kejadian itu.

"Arghh! Pergilah dari kepalaku, Hadyan bodoh!

Dasar penjahat mesum! Bahkan kau yang membuat lebam misterius di pinggangku hingga aku menderita pusing-pusing selama berhari-hari! Dan kau tadi masih berani bertanya soal lebam itu?! Dasar pria tidak berotak!" Geramnya.

Tiba-tiba, Tasia terduduk dengan mata terbelalak. Ia baru saja menyadari sesuatu yang sangat aneh.

'Tunggu, tunggu! Tunggu sebentar! Ada hal yang aneh! Sangat aneh! Lebam itu! Bukankah lebam itu sudah ada sebelum aku bertemu dengan Hadyan?!

Lebamnya sudah ada bahkan sebelum kami mulai masuk sekolah. Luka itu muncul setelah aku.. tenggelam dan hilang di pantai Slamaran, 'kan?!'