Chapter 33 - Melemah

Perasaan Tasia bagai sebuah adonan kue yang sedang dicampur aduk dan diuleni hingga kalis.

Ia merasa sedang dikhianati saat ini, namun di sisi lain, ia tidak pantas untuk marah. Karena, ia memang bukanlah siapa-siapa untuk Hadyan.

Pendakian baru akan dimulai besok karena terlalu banyak anak-anak awam yang ternyata sama sekali buta akan dunia camping dan alam bebas, sehingga ketua panitia memutuskan akan memberikan arahan dan bimbingan untuk para peserta di hari ini.

"Ini pasti karna si Peter, jadi banyak anak perempuan manja yang ikut," Gerutu ketua umum panitia sembari memeriksa daftar absensi peserta.

"Kenapa aku lagi yang kena? Wajah mana bisa dipilih? Dari lahir wajahku sudah tampan begini." Bela si sinterklas sexy itu.

"Tapi kau tebar-tebar pesona, 'kan? Kau pikir aku tidak lihat tingkahmu di kelasku?" Balas Patra.

Pria itu tersenyum jahil. "Tapi dananya jadi cukup, 'kan? Mereka itu loyal loh.." Yang lain hanya bisa mendengus.

Dari ekor matanya, Patra menangkap sosok yang tidak asing, berjalan melewatinya seakan dirinya hanyalah seonggok kayu kering yang akan dibakar saat camping nanti.

"Tasia!" Panggilnya sembari menepuk pundak gadis itu.

"Auw! Sakit tau!" Geram Tasia.

"Kenapa kau? Jalan melewatiku seakan aku hantu,"

Tasia memutar bola matanya. "Aku tidak kenapa-napa. Aku tidak melihatmu tadi."

"Kau bertengkar dengan Hadyan, ya?" Tebak bocah itu frontal.

"Untuk apa aku bertengkar dengannya? Kami juga tidak ada hubungan apa-apa."

Patra tertawa. "Kau kenapa, sih? Masa ditanya begitu saja, jawabnya marah-marah? Sedang PMS, ya?"

Di dalam hati, Patra tau bahwa penyebab Tasia kesal adalah Hadyan. Ia memang tidak pernah mau mengurusi urusan percintaan teman-temannya, karena ia memiliki masalah percintaannya sendiri. Namun sudah lama ia melihat Tasia seperti sebuah cangkang kosong. Tapi sejak ada Hadyan, perlahan gadis itu seperti mendapatkan jiwanya kembali.

"Keliling vila, yuk!" Ajak Patra, siapa tau ia bisa meringankan perasaan kesal gadis imut ini.

Tasia langsung mengangguk, meski tetap dengan wajah masam. Ia memang tidak pernah menolak ajakan Patra. Pria itu selalu tau kapan harus menghiburnya dan selalu berhasil.

Akhirnya mereka berjalan-jalan mengelilingi vila besar itu. Vila tersebut memang sudah cukup tua dengan adanya beberapa ruangan yang membuat Tasia bergidik karena terlihat suram.

Meski sudah berjalan-jalan, namun ternyata kali ini kegusaran di hati Tasia tidak kunjung hilang. Ia malah semakin kepikiran di mana gerangan sosok Hadyan berada.

Biasanya, pria itu tidak pernah absen untuk selalu menempel padanya. Tapi sekarang, bahkan ketika Patra jelas-jelas sedang jalan berduaan dengannya, Hadyan malah entah ada di mana.

Tapi Tasia tidak bisa menyangkal. Di bayangannya, Hadyan sedang menikmati waktu berduaan dengan Marya.

"Tasia! Patra!" Terdengar samar suara cempreng seorang gadis dari belakang. Mereka berdua menoleh. Marya setengah berlari menghampiri mereka.

"Kenapa?" Tanya Patra.

"Kalian lihat Hadyan, tidak? Sudah tiga jam aku mencari-carinya." Tanya gadis dengan bandana itu sembari celingak-celinguk.

Tasia mengerutkan dahinya. "Bukannya dia bersamamu dari tadi?"

Marya menggeleng. "Sehabis sarapan tadi, tiba-tiba ia menghilang. Aku kira d

ia pergi bersamamu, Tasia."

"Kemana yah dia.." Gumam Tasia ikut khawatir.

Patra menampakkan kejengkelan penuh di wajahnya. "Enak yah.. Punya wajah rupawan dan keren seperti Hadyan. Baru tiga jam menghilang saja sudah dicari-cari dua perempuan begini. Kalau aku, hilang tiga hari pun kalian tidak akan sadar."

"Sudah cari di kamarnya? Jangan-jangan dia sedang sakit?" Tanya Tasia yang mendapat gelengan dari Marya.

"Aku sudah cari kesana. Tapi dia tidak ada."

Wajah Patra bertambah masam karena tidak ada yang menanggapinya.

"Sudahlah.. Hadyan sudah besar, bukan anak SD lagi. Badannya saja sampai berotot begitu. Kalian tidak perlu mengkhawatirkannya sampai seperti itu. Mungkin dia sedang ingin sendiri."

Tasia dan Marya saling menatap lalu mengangguk, membenarkan kata-kata Patra. Untuk apa mereka mengkhawatirkan pria sebesar itu?

"Sirik, ya?" Goda Marya, mendapat degusan dari pria berkaos putih kebesaran itu. Sepertinya sekarang yang ngambek bukan Tasia lagi, melainkan Patra.

****

Sebuah ruangan kosong gelap dan lembab. Hanya sedikit cahaya dari luar yang bisa masuk melalui jendela kecil yang ditutupi oleh tralis besi. Jalan menuju rungan itu adalah sebuah lorong sempit dan tangga menurun.

Seorang pria berdiri di tengah-tengah ruangan itu. Ia menatap salah satu tembok kosong.

"Aku datang tanpa niat buruk. Aku datang dengan damai dan tidak berminat mengusik kalian." Ucap pria itu.

"Kami tau kau siapa. Kami tau apa saja yang sudah kau lakukan. Kami tau bagaimana kau memperlakukan kaum kami." Sebuah suara menjawabnya. Suara laki-laki dan perempuan. Anak kecil dan orang tua. Nada tinggi dan rendah. Semua bercampur menjadi satu.

"Aku tidak akan melakukan apa pun di sini. Tolong jangan lakukan apa pun pada manusia-manusia itu. Yang kalian benci adalah aku. Jangan sampai manusia menjadi kambing hitamnya."

"Pangeran Hadyan. Entah mengapa kau tiba-tiba membela manusia. Dasar naif! Padahal kau sendiri yang sering menenggelamkan kapal dan membunuh mereka untuk kau jadikan budak. Hahaha.." Ujar mereka.

Hadyan mendecak. Ia tidak punya waktu mengurus hantu-hantu rendahan seperti mereka. Ia harus fokus pada Tasia.

"Jangan lakukan apa pun pada mereka. Seranglah aku, karena memang aku yang kalian tidak sukai. Manusia-manusia itu berlaku sopan. Kalian tidak memiliki alasan untuk melukai mereka." Ujar Hadyan lantang.

"Kau lemah di tempat ini, Pangeran Hadyan. Semua kekuatanmu kau gunakan untuk mempertahankan wujud manusiamu itu. Hehehe.."

Perlahan, segerombol mata bermunculan dari tembok kumal tersebut. Di baliknya, mata-mata itu menempel dan memenuhi sebuah wajah yang tidak memiliki hidung dan kulit. Hanya seonggok daging merah kehitaman dengan mulut lebar penuh deretan gigi tajam.

"Apa yang bisa kau berikan untuk menjaga manusia itu?" Mereka tertawa.

Hadyan menggertakan giginya kesal. Ia tidak mau acara teman-temannya ini menjadi pertunjukan kesurupan masal.

Ia merogoh kantung celana jeansnya dan mengeluarkan sebuah cutter kecil dan membukanya. "Aku tau kalian kelaparan karena terkurung berpuluh tahun di tempat ini. Darah terakhir yang bisa kalian makan adalah manusia terakhir yang dibunuh di tempat ini."

"Hehehehehehehe.. Huhuhuhu..." Ruangan itu menjadi sangat berisik.

Hadyan mengarahkan cutter tersebut ke telapak tangannya dan membuat sebuah sayatan panjang yang langsung mengeluarkan darah hitam. Tanpa menunggu lagi, hantu-hantu menjijikan itu langsung mengerumuni darah yang menggenangi lantai semen itu.

"Kalian menjijikan. Ingat sumpah kalian! Jika sampai kalian menyentuh manusia-manusia itu, akan aku pastikan yang tadi adalah tawa kalian yang terakhir." Ucapnya tegas, lalu melangkah pergi.

Hadyan menaiki tangga kecil dan keluar dari pintu besi tua berkarat di halaman belakang yang penuh tanaman tidak terawat. Kemudian, pintu itu kembali terkunci seperti sediakala.

Sebelumnya, Hadyan sengaja masuk ke sana dan menggunakan kekuatannya untuk membuka pintu tersebut. Namun kini, ia bagai sebuah mobil yang sudah hampir habis akinya. Darah yang ia berikan pada makhluk menjijikan tadi, bukanlah sekedar darah, melainkan sisa-sisa kekuatannya. Karena itu, gerombolan hantu tadi langsung menurut. Kekuatan dalam darahnya akan membuat mereka kenyang selama berpuluh tahun kedepan.

Ia melangkah agak lunglai, berniat pergi ke kamar mandi untuk menunggu luka di telapak tangannya pulih. Setelah itu, ia bisa mencari dan menguntit Tasia lagi.

Belum juga masuk ke dalam vila, sebuah suara cempreng membuatnya mendesah malas. Suara itu memanggil namanya. "Hadyan! Kau dari mana saja?"

Ia menoleh dan mendapati Marya sedang melangkah terburu-buru menghampirinya. Namun emosinya mendadak naik ketika melihat Tasia berdampingan dengan Patra, dengan santai mengekori langkah gadis itu.