Chapter 5 - Pertemuan

Tasia mengerjapkan kedua matanya dengan cepat. Ia hampir terloncat dan sudah pasti akan pingsan jika yang ia pikir ia lihat barusan adalah sungguhan.

'Ah.. sepertinya otakku benar-benar sedang kacau. Rasanya tadi aku lihat anak ini berwajah rata..' Pikir Tasia di dalam hati dengan menelan liur yang terasa seperti kerikil di tenggorokannya.

Anak itu tersenyum manis padanya. Anak yang tampan dan lucu. Kedua matanya bulat dengan iris hitam legam bagai lautan dalam. Bibirnya berwarna merah segar, terlihat semakin lucu dengan kedua pipi yang bulat menekannya.

Bocah itu hanya diam saja, tidak mengatakan apa pun. Namun ia adalah anak kecil. Ia mungkin merasa malu. Ya, begitulah yang ada di pikiran Tasia.

"Kau sedang apa di sini, Adik kecil? Di mana ayah dan ibumu?" Tanya Tasia seraya ikut duduk di samping anak itu.

Namun anak itu masih bungkam dan tetap tersenyum. Aneh? Tidak juga. Ia hanya seorang anak kecil.

"Namamu siapa, Dik?" Tanya Tasia lagi. Kali ini, ia berharap anak itu akan menjawab.

"Hadyan."

Tasia tersenyum puas mendengar jawaban anak itu. Suaranya bahkan terdengar sangat seimut dan menggemaskan!

"Halo, Hadyan. Nama kakak adalah Anastasia. Tapi, kau bisa memanggilku Kak Tasia. Kenapa kau main di sini sendirian?" Tanya Tasia ramah dengan mengusap sayang kepala anak bernama Hadyan itu.

"Karna aku ingin bertemu Kak Tasia."

Tasia mengerinyit bingung mendengar jawaban itu. Aneh. Namun, ia merasa maklum dengan sikap anak-anak yang sering kali ambigu.

"Haha.. kau lucu sekali, Hadyan!" Tawa Tasia dengan mencubit gemas pipi bulat nan kenyal milik Hadyan. Anak ini masih sangat kecil namun sudah pandai merayu perempuan.

"Kenapa kakak menangis?" Tanya Hadyan polos.

Tasia sedikit terkejut. Namun ia kembali tersenyum dan mengusap mata kirinya yang mungkin terlihat sembab dan disadari oleh Hadyan.

"Karena aku merasa sedih. Tapi tidak apa-apa. Sekarang, aku sudah tidak sedih lagi karena Hadyan sangat lucu."  Tasia terkekeh lagi.

Tasia memang menyukai anak-anak. Dan anak ini, entah mengapa bagai menyihir bibirnya untuk selalu tersenyum.

"Ohya, Hadyan. Sebaiknya kau kembali ke kamarmu. Bagaimana jika Kak Tasia yang mengantarmu?" Tanya Tasia.

Namun Hadyan menggeleng, membuat Tasia berpikir anak ini sama seperti anak-anak lainnya: Keras kepala.

"Hey, Hadyan. Apakah kau tahu? Di pantai ini, ada cerita seram. Jika kau bermain seorang diri di pantai ini ketika malam, kau akan diculik oleh hantu ular yang ada di tengah laut itu. Dan ia akan memakanmu." Bisik Tasia sambil menunjuk lautan luas yang ada di hadapan mereka.

Kemudian Tasia tersentak lagi dan buru-buru menggigit jari telunjuknya. Ia baru teringat mengenai mitos masyarakat yang mengatakan bahwa kita dilarang menunjuk-nunjuk sesuatu yang tidak wajar.

"Benarkah? Apa kau takut?" Tanya Hadyan.

Tasia mengangguk yakin. "Aku sangat sangat takut! Katanya, hantu ular itu sangat menyeramkan! Tubuhnya bersisik dengan warna hitam kelam dan kedua matanya bisa menyala."

Hadyan tersenyum menenggapi cerita Tasia. Tasia semakin bingung pada anak itu. Biasanya anak kecil akan takut jika diceritakan kisah seram, bukannya tersenyum.

"Ayo kita kembali. Nanti kau masuk angin. Kakak akan mengantarmu. Kemarilah," Tasia turun dari tempatnya duduk seraya menggendong Hadyan turun. Lalu ia menggenggam tangan kecil anak itu.

Hadyan tersenyum lagi dan menurut saja dalam gandengan tangan Tasia yang hangat. Kedua mata bulatnya menatap sosok Tasia dari tadi bagai ada sebuah medan magnet kuat di sana.

"Kamarmu di mana, Hadyan?" Tanya Tasia.

Hadyan membalasnya dengan menunjuk salah satu kamar yang berada di deretan paling ujung.

Mereka berjalan di atas pasir hingga sampai ke teras kamar itu. Tasia memencet bel kamar dengan masih menggandeng Hadyan yang hanya berdiri diam di sampingnya.

"Kau sangat baik hati. Tanganmu juga sangat hangat." Tutur Hadyan tiba-tiba.

Tasia menoleh padanya dan tersenyum geli mendengar kepolosan anak itu sekaligus pada kepandaiannya berbicara.

"Tapi tanganmu sangat dingin, Hadyan. Kau harus segera masuk ke dalam. Jika tidak, kau bisa sakit dan liburanmu jadi tidak akan menyenangkan nantinya," Jawab Tasia sebelum memencet bel lagi.

Tidak lama, pintu kamar tersebut terbuka dan menampakkan seorang pria berkumis dengan baju hitam dari balik pintu.

"Selamat malam, Pak. Aku ke sini mengantar Hadyan pulang. Tangannya sudah dingin, aku takut ia akan sakit." Ucap Tasia.

"Ya, trimakasih." Jawab pria tinggi itu.

Lalu Tasia segera memberikan Hadyan pada pria tersebut.

"Maaf, Pak. Aku tidak bermaksud menguliahimu. Tapi tolong perhatikan anakmu agar tidak bermain di pantai sendirian, terlebih saat malam hari seperti ini. Selain berbahaya, aku rasa pemilik resort juga sudah memberitahukan kepada semua tamu soal larangan bermain di pantai seorang diri ketika malam hari. Bahkan pengumuman itu juga sudah dipajang di dekat meja resepsionis." Tutur Tasia sesopan mungkin. Padahal, ia juga baru saja melanggar peringatan itu.

"Ya, aku tahu. Trimakasih." Jawab pria itu tanpa ekspresi.

Wajah datar tersebut sebenarnya cukup menyeramkan. Tapi entah mengapa Tasia tidak sadar akan hal tersebut.

Tasia tersenyum lalu ia berjongkok untuk menyamai tinggi Hadyan. "Kakak kembali ke kamar dulu yah, Hadyan. Kau harus segera tidur agar bisa bermimpi indah." Tuturnya dengan mengelus pipi buntal itu.

"Aku akan memimpikanmu, Kak Tasia." Hadyan menangkup balik kedua pipi Tasia dengan kedua tangannya yang kecil.

Tasia tertawa lebar. "Aku rasa saat besar nanti, kau akan digilai gadis-gadis. Kau masih kecil namun sudah pintar merayu perempuan!"

Akhirnya Tasia beranjak pergi setelah berpamitan. Sesekali, ia melambai pada Hadyan yang masih berdiri tersenyum bersama ayahnya di depan pintu kamar mereka hngga Tasia menghilang di balik blok bangunan kamar lain.

"Aku tertarik padanya," Ucap Hadyan dengan mengembalikan wujud aslinya menjadi seorang pangeran dewasa.

Bersamaan dengan itu, sosok pria di belakangnya turut berubah menjadi semula, yaitu sebagai sosok genderuwo hitam berlidah panjang dengan sepasang taring menyembul keluar dari mulutnya

"Kita bisa membawanya ke istana, Yang mulia."

Hadyan menggeleng. "Tidak. Aku tidak boleh asal membawanya saat ini juga. Aku tetap harus menyelidiki gadis itu terlebih dahulu. Lagipula, aku membawanya untuk kujadikan permaisuri, bukan budak kerajaan. Aku tidak bisa menariknya dengan paksa."

"Perlukah kami turut membantu, yang mulia?"

"Aku akan memanggil kalian jika aku membutuhkan bantuan. Sementara ini, aku akan turun tangan sendiri." Jawab Hadyan.

"Baiklah, Pangeran. Saya permisi dulu," Lalu sosok genderuwo itu berubah menjadi burung hitam dan melesat jauh ke tengah laut dengan cepat.

Hadyan tersenyum sendiri. Ia takjub pada Tasia yang di matanya terlihat sangat manis dan cantik. Gadis itu adalah gadis berhati baik. Ia bisa merasakan hal itu di dalan hatinya.

Tangan Tasia juga begitu hangat, tidak seperti suhu tubuh Hadyan yang selalu dingin. Mungkin jika tadi Hadyan tidak berubah pikiran untuk tidak menakuti Tasia dengan anak bermuka rata, ia pasti sudah menyesal sekarang.

Kini Hadyan telah menemukan apa yang selama ini dirinya cari. Itu adalah seorang gadis yang akan ia pilih menjadi pasangan hidup untuk selamanya.

Tidak akan ada lagi yang namanya kesepian. Hadyan bahkan bisa membayangkan bagaimana kedepannya istana yang ia tempati sekarang benar-benar terasa seperti rumah karena ada sosok yang ia cintai di dalam sana.

Ia tahu benar apa yang ia inginkan, dan hatinya sudah mantap memilih Tasia. Karena meski baru bertemu sekali ini, ia sudah bisa merasakan kekosongan di harinya sudah mulai sedikit terisi.