Chereads / The Enchanter (Black Pearl) / Chapter 12 - MALAIKAT JATUH

Chapter 12 - MALAIKAT JATUH

2 hari perjalanan tanpa makanan hanya air yang menjadi perbekalanku saat ini. Bibir mengering layak tanah tandus yang siap untuk pecah.

Saraf perutku terus menjengit. Aku memutuskan untuk menaiki bangunan tertinggi di sekitarku untuk melihat keadaan di area tersebut.

"Apa kalian tidak merasa ada yang janggal?" tanyaku pada mereka berdua.

"Janggal? Sepertinya tidak," jawab Black Pearl.

"Aku tahu, kau belum makan!" sahut Lavanya dengan lantang namun salah.

"Lihatlah kota ini! Bukankah ini terlalu luas untuk seukuran kota?"

"Kau benar, bukankah ini mengesankan?!" sahut Black Pearl.

Saat kami asyik berbincang mataku tertuju pada jelaga sihir yang samar menuju kepulan asap di sudut kota. Mata yang di berikan Black Pearl sangatlah praktis, bahkan aku tidak memerlukan pelita atau lentera untuk menerangi jalanku di malam hari.

Dengan cepat aku bergegas turun dan mendekat sedekat mungkin pada kepulan asap tersebut. saat pandanganku cukup jelas rupanya di sana terdapat sebuah keluarga kecil yang sedang menjerang air.

Tak satu pun dari mereka mencurigakan. Namun hal itu membuatku penasaran.

"Sepertinya mereka pengembara."

"Parah," ucap Lavanya.

Ucapan yang tidak aku pahami arah dan tujuannya. Dengan menunggu dirinya melanjutkan perkataannya, sepertinya salah satu anak kecil di antara mereka mengetahui keberadaanku.

"Siapa di sana?" teriak anak tersebut.

Kemudian dia mengambil sebuah busur panah dan mengucapkan mantra untuk menyalakan api di ujung anak panahnya yang mengarah padaku.

Aku hanya meringkuk untuk menutupi tubuhku. Bagaimana tidak, pakaianku hancur saat melawan ular putih tersebut dan itu membuat tubuhku tersingkap. seorang wanita mendekat mendatangiku.

"Oh!" Kemudian dia berlari kembali dan membawa ibunya yang menggenggam sebuah kain.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya wanita tua.

Saat aku melihat mereka dengan terkejut mereka terperanjat saat menatap mataku.

"Jangan lihat aku!" teriakku.

Sudah cukup lama aku tidak bertemu dengan manusia dan itu buruk. Percakapan kami benar-benar kaku dan canggung.

Gadis itu menepuk punggungku dengan lembut dan senyuman di bibir kecilnya.

"Tenanglah!" kemudian mereka berdua memberikan pakaian yang terbuat dari kain kasar sebagai pengganti pakaian yang aku kenakan.

Kemudian aku di giring menuju perkumpulan mereka di sana terdapat sang ayah yang sedang duduk manis menikmati api unggun.

"Siapa wanita ini?" tanya sang ayah sembari memberikan tempat duduk untukku.

Mereka berdua hanya mengangkat bahu dan memberi isyarat dengan menunjuk ke dua matanya.

"Ah, mereka mungkin takut dengan bola mataku yang berbeda," Aku membatin.

"Nona, bisakah kau menunjukkan matamu?"

Tanpa pikir panjang aku langsung membuka mataku kembali.

Pria itu memperhatikan mataku dengan saksama.

"Dia tidak buta!" ucapnya.

Mereka menghela napas lega.

"Uhuk! Uhuk!" sebuah suara batuk kecil yang terdengar dalam kereta kuda mereka.

"Itu dia!" ucap Lavanya.

"Ada apa?" tanyaku pelan.

"Dia memiliki sihir merah namun tubuhnya menolak sihir tersebut sehingga membuatnya menderita."

"Apa aku bisa menyembuhkannya?"

"Tentu saja, tapi dia akan mati!" perkataan Lavanya membuatku tersontak dan sedikit skeptis dengan tindakan apa yang akan aku lakukan ke depannya.

Sebaiknya aku mengumpulkan informasi terlebih dahulu sebelum menyimpulkan dan bertindak. Aku berdiri dan mulai mendekati anak kecil yang terkapar lemas di dalam kereta tersebut.

Sihir dalam tubuhnya melemah. Tangannya kering bagai ranting di musim gugur, hanya kulit dan tulang yang dapatku lihat dari tubuhnya.

"Siapa anak ini?" tanyaku.

"Dia adalah anak kami. Semenjak satu minggu lalu dia tiba-tiba lumpuh dan tidak mau makan, aku sungguh khawatir dengan keadaannya," jawab sang Ibu.

"Hera,kau harus mengambil serpihan sihir di tubuhnya dan tubuh anak yang lain," pinta Black Pearl.

"Apa yang terjadi jika aku merenggutnya?"

"Mereka akan mati," jawab Black Pearl.

"Apa kalian menemukan sebuah sungai di sekitar sini?" tanyaku pada mereka.

Kemudian mereka menunjuk ke arah utara dari tempat mereka dengan cepat aku bergegas menuju sungai tersebut. Saat keadaan aman aku mulai berdialog dengan mereka.

"Apa ini harus terjadi?"

Black Pearl hanya terdiam.

"Hera, semua ini harus di lakukan," ucap Lavanya.

"Bukankah kau sudah siap untuk misi ini?!" tanya Black Pearl.

"Tapi aku tidak tahu bahwa mengambil sihir mereka akan—"

"Tenanglah Hera!" tukas Black Pearl.

Pikiranku kalut tanpa arah, namun anehnya aku tidak merasakan takut ataupun iba saat mendengar perkataan Black Pearl hanya saja menurutku itu adalah sesuatu yang kejam.

"Kakak, dengan siapa kau berbicara?" Ternyata anak dari sang Ibu mengikuti hingga hilir.

Dengan panik aku berkata, "Pada diriku sendiri."

Dia menepuk punggungku layaknya seorang yang mengerti keadaanku. Kemudian kami kembali. Suguhan sederhana yang hangat membuat hatiku sedikit luluh dengan kebaikan mereka.

Namun aku harus melakukan tugasku, cepat atau lambat semua ini akan terjadi.

Nyes!

"Auch!" pekikku.

"Maaf, aku benar-benar minta maaf!" ucap lantang sang Ibu.

Sungguh rasa panas yang cukup mengejutkan, sedikit kuah sup panas terjatuh di atas telapak tanganku. Namun aku merasakan hal lain yaitu rasa gatal mulai memenuhi keningku tepatnya di sekitar kristal hijau yang menempel di kepalaku.

"Hmm, aku akan membilasnya dengan air di sungai."

"Aku akan ikut denganmu!" pinta sang Ibu dengan merasa bersalah.

"Tidak, aku baik-baik saja. aku akan segera kembali." Aku langsung melempar senyumanku pada mereka agar mereka tidak mengkhawatirkanku.

Derapan kakiku terus bertalu-talu tanpa henti sampai aku menemukan sebuah gua di dekat sungai tepatnya di seberang sungai.

Kunaiki bantaran sungai dan langsung masuk ke dalam.

"Apa yang terjadi kenapa kening dan punggungku panas?" teriakku pada Lavanya.

"Kontrak kita akan terjalin dan sihirku akan menjadi milikmu. Kontakku akan terjalin jika sang penerima menerima luka pertama setelah perjanjian kita," jawab Lavanya.

Mataku mulai sabak dengan rasa sakit yang terus melilit di punggung dan keningku. Cahaya hijau mulai terpancar kuat dari kuarsa di kening dan punggungku bagai terbakar api hijau.

"Haaaa!" teriakku dengan lantang dalam balutan dinding gua.

Hawthorn benar-benar tumbuh dari punggungku dan membentuk sebuah kerangka sayap tanpa bulu.

"Bertahanlah, Hera!" ucap Lavanya.

Satu demi satu daun hijau yang cantik mulai tumbuh, namun seiring tumbuhnya daun tersebut bersamanya pula tumbuh rasa sakit di setiap lembar daun tersebut.

Rasa ini pernah aku rasakan saat puluhan ular menyerang kepalaku.

"Hera!" panggil Black Pearl.

Sebuah bayangan terpantul cahaya bulan masuk ke dalam gua kemudian dia menghilang.

"Sepertinya dia melihat kita."

Saat aku selesai dengan ritual mimpi buruk itu aku bergegas kembali pada mereka. Namun hanya api unggun yang tersisa dengan sup daging yang mereka tinggalkan.

"Kita harus mengejarnya," perintah Lavanya.

"Bagaimana caranya?"

"Bukankah kau telah mewarisi sayapku? Terbanglah!" pintanya.

Kemudian aku mulai membayangkan sayap tersebut dengan menggunakan sihir rasa sakit saat sayap itu muncul benar-benar tak terelakkan dan munculnya sayap tersebut lebih cepat dari awal pertama kali sayap itu muncul. Entah bagaimana aku memasukkan sayap itu ke dalam tubuhku tadi.

"Nanti kau akan terbiasa," ucap Lavanya dengan lirih.

"Kita tidak punya waktu lagi, Hera!" ucap Black Pearl.

Kemudian aku berlari namun sayap itu tak mengepak sedikit pun, jangankan untuk terbang bergerak saja sangat sarat bagiku.

"Bagaimana caraku terbang jika sayap ini hanya sebagai aksesoris saja?" pekikku.

"Sayap itu adalah satu bagian dari tubuhmu rasakanlah dan cobalah untuk terus menggerakkannya," jawab Lavanya.

Jika sayap ini adalah bagian tambahan untuk tubuhku seharusnya sayap itu dapat kurasakan, namun nyatanya aku masih kesulitan dengan sayap tersebut dan rasa sakit sepertinya telah melipur saraf sayapku.

Aku berlari tanpa memperhatikan pijakanku hingga aku terjatuh ke dalam parit besar di bawah jembatan hancur perbatasan kota.

"Bohong ini kan?! Aaaa!"

Suara angin mulai menjerit kuat di telingaku dan ini petanda buruk.

"Hera!" teriak mereka berdua.

"Terbanglah! Terbanglah! Kumohon! Aku tidak ingin mati sekarang!"