Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Kos-kosan Terkuat di Bumi

taan
--
chs / week
--
NOT RATINGS
283
Views
Synopsis
Intinya ini tuh bercerita tentang bertahan di kos2 an dari serangan zombie
VIEW MORE

Chapter 1 - Kos-kosan Terakhir di Bumi

Felix Einar Trisatya Wijaya, atau lebih dikenal sebagai Felix si anak kosan lantai dua yang rajin beli Aqua galon tapi jarang mandi, bangun dengan kepala pening dan perasaan ganjil di dada. Bukan karena tugas akhir yang belum selesai. Bukan juga karena saldo GoPaynya tinggal 4.200 rupiah. Tapi karena suara aneh yang menyerupai "Nghhhh... grkkhh..." yang berasal dari luar jendela kamarnya.

Matanya menyipit, menatap ke arah jam dinding berbentuk Doraemon yang sudah mati sejak semester dua. Matahari belum naik, dan itu sudah cukup mencurigakan. Felix meraih ponselnya, berharap notifikasi dari Ayu, gebetan sekaligus teman kelompok drama Shakespeare yang semalam terakhir diketikkan: "Jangan lupa bawa print-an scene ya besok pagi!"

Tapi tidak ada pesan masuk. Hanya satu notifikasi dari Twitter:

#JakartaDarurat

#OrangGigitOrang

#ZOMBIeReal?

Felix mengerutkan kening.

"Apaan lagi ini, tren prank baru?"

Ia bangkit dari kasur, melewati tumpukan baju kotor, dua bungkus mie instan yang belum dibuang, dan satu kantong kresek yang entah isinya apa. Saat ia membuka jendela kamar, pandangannya disambut oleh hal yang tidak masuk akal.

Seorang ibu kos, Bu Darmi, yang terkenal paling cepat nagih uang listrik, sedang... menggigit pundak salah satu anak kos, Yoga, yang biasa bangun jam 10 dan selalu nanya, "Mie goreng lo masih ada nggak, Bro?"

Felix terpaku.

Bu Darmi mendesis dengan mata putih memucat dan darah menetes di sudut bibirnya. Yoga sudah tak bersuara, tubuhnya lemas seperti kapas terendam teh.

"Astaga naga," gumam Felix, "ini bukan skripsi, ini mimpi buruk..."

Lalu ia melangkah mundur perlahan. Otaknya bekerja keras menolak kenyataan. Tapi suara teriakan dari kamar sebelah, disusul dentuman pintu, dan suara seseorang lari di lorong kos menguatkan satu hal:

Zombi itu nyata. Dan mereka baru saja mulai sarapan.

Felix terkunci dalam diam selama tiga detik. Otaknya mencoba menyusun rencana logis, tapi satu-satunya yang terpikir adalah:

"Ambil mie. Ambil mie dulu."

Dengan gerakan refleks yang luar biasa tidak berguna untuk situasi darurat seperti ini, ia merangkak ke kolong meja, menarik keluar kardus Indomie yang tinggal tiga bungkus, dan memeluknya seperti harta karun.

Sementara di luar, suara teriakan dan langkah kaki panik mulai bergema di sepanjang koridor kosan. Terdengar juga suara kaca pecah. Lalu, BRAK! suara pintu kamar sebelah dibanting. Disusul suara serak:

"Mereka bisa lari, bro! Zombi-nya bisa lariiiii!"

Felix mencengkeram gitar akustik murah miliknya satu-satunya benda keras di kamarnya dan memeluknya seperti pedang. Ia mengendap ke arah pintu dan mengintip melalui lubang kunci. Tidak ada siapa-siapa. Hening.

"Felix! Woy! Lu masih hidup?" suara setengah berbisik terdengar dari luar.

Itu suara Fikri, anak kos kamar ujung yang terkenal pintar, tapi suka colong sendal.

Felix buru-buru membuka pintu. Fikri, dengan hoodie hitam dan celana pendek bola, terlihat berkeringat dan gemetar. Di tangannya ada panci teflon—bukan senjata ideal, tapi lebih baik daripada remote TV.

"Apa-apaan ini?" bisik Felix.

"Lu nggak liat berita? Virus, bro! Dari rumah sakit gigi deket UI! Pasien gigit dokter, terus nyebar. Kayaknya udah parah banget. TV semua siaran darurat. Negara kayaknya collapse. Orang gigit orang. Terus jadi... ya... mayat hidup."

Felix mengangguk pelan.

"…jadi zombie..."

Fikri melirik ke dalam kamar Felix.

"Itu mie lu masih ada?"

Felix memelototinya.

"Skor kemanusiaan 0, Fik."

Fikri tertawa kecut. "Oke, oke. Jadi… kita ngapain sekarang?"

Felix berpikir. Ini bukan game. Ini bukan film. Dia hanya mahasiswa Sastra Inggris yang baru nonton Train to Busan sekali dan itu pun ketiduran di tengah. Tapi dia tahu satu hal pasti: diam di tempat bukan jawaban.

"Kita harus keluar dari kosan ini. Ambil makanan, air, barang penting… terus cari tempat aman. Sebelum Bu Darmi naik ke lantai dua dan jadiin kita sarapan berikutnya."

Fikri menelan ludah. "Lu yakin?"

Felix meraih gitarnya. Menyandangnya seperti samurai di game Basara.

"Nggak. Tapi antara mati di sini atau mati sambil lari… gue pilih kedua."

Dan dengan itu, mereka pun melangkah keluar, menyusuri lorong kosan sempit yang kini terasa seperti lorong neraka.

Lorong kos terasa lebih panjang dari biasanya. Cahaya temaram dari lampu neon di langit-langit berkelap-kelip, membuat suasana makin mirip film horor. Bau menyengat, campuran darah, parfum murah, dan mie rebus basi tercium samar-samar.

Felix dan Fikri bergerak pelan, gitar dan panci teflon di tangan, seperti dua ninja amatir yang nyasar ke film The Walking Dead. Langkah mereka terhenti di depan kamar 05. Pintu setengah terbuka, dan dari dalam terdengar suara desahan pelan.

Felix menoleh ke Fikri.

"Kalau itu zombie, kita lari."

"Kalau itu manusia?"

"Kita lari juga. Gue trauma lihat manusia sekarang."

Tapi sebelum mereka bisa kabur, pintu terbuka lebih lebar dan muncul sosok tinggi berambut gondrong. Wajahnya pucat, mata merah. Felix hampir mengayunkan gitar sebelum sosok itu bersuara:

"WOI, FELIX, FIKRI! GUE RENO!"

Reno. Anak Teknik Mesin. Jarang bicara. Paling sering nongkrong sambil ngelas sesuatu di balkon. Di tangannya kini ada… kapak. Serius. Kapak logam dengan gagang yang tampaknya dibuat dari tiang jemuran.

"Lu dari mana dapat itu?" tanya Fikri, menunjuk senjata Reno.

"Modif tripod lampu sama bekas plat baja dari bengkel sebelah. Gue udah siap sejak dua tahun lalu. Gue percaya dunia bakal kiamat. Tapi gue pikir karena alien… ternyata zombie."

Dia mengangkat bahu, seolah kecewa dengan kenyataan.

Felix geleng-geleng kepala. "Oke. Gimana status di luar?"

"Udah kacau. Gue barusan ngintip dari atap. Jalanan macet total. Banyak orang kejar-kejaran. Tapi ada satu mobil box yang nabrak pos satpam dan sekarang kebuka. Di dalamnya kayaknya ada makanan. Dan kayu."

"Makanan?" Mata Fikri langsung berbinar.

Felix menyambar bahunya. "Bukan sekarang. Kita harus bikin tim dulu. Kita nggak bisa keluar kalau cuma bertiga."

Reno mengangguk. "Ada beberapa anak yang masih di kamar. Gue liat si Tika, anak Arsitektur, masih sembunyi di toilet. Terus ada Damar, anak DKV, yang malah sibuk ngegambar zombie sambil dengerin Spotify. Entah masih hidup atau udah jadi seniman undead."

Mereka bertiga saling pandang.

Felix menarik napas dalam.

"Kalau gitu… kita bangun persekutuan. Kos-kosan ini nggak bisa bertahan kalau kita jalan sendiri. Kita rekrut siapa pun yang masih hidup. Kita keluar bareng. Dan kalau ada yang gigit orang, langsung kita buang ke luar."

Fikri mengangguk pelan.

Reno mengangkat kapaknya.

Felix mengepalkan tangan.

Hari itu, di tengah bau amis dan ketakutan, tiga anak muda yang belum bayar SPP membentuk aliansi kecil.

Persekutuan Kos-Kosan.

Dan dunia pun tak akan pernah sama lagi.