Chapter 30 - Egois

Sepanjang jalan, Tasia tidak bisa duduk tenang. Pernyataan Hadyan di rest area tadi ampuh membuat penyakit parnonya kambuh hingga ia terus memikirkan segala kemungkinan celaka yang akan terjadi akibat makhluk-makhluk gaib seperti yang sering ia tonton di televisi.

Tasia tidak dapat tidur pulas seperti yang lainnya, meski sebelumnya ia sudah makan kenyang dan tenaganya terkuras habis setelah seharian bermain di dalam bus bersama teman-temannya yang gila.

Tasia kembali bangun dari sandarannya, berniat berbicara dengan Hadyan meski terhalang oleh tubuh Marya yang duduk di antara mereka berdua.

Hadyan mengangkat kedua alis tebalnya yang menyaratkan tanya 'Ada apa?'. Ia tau dari tadi gadis konyol itu tidak bisa duduk diam. Energi ketakutannya bahkan bisa Hadyan rasakan hanya dengan sekali endus.

"Aku takut karena mendengar ceritamu," Bisik Tasia.

Hadyan langsung tertawa kecil melihat wajah panik itu.

"Tidak ada apa-apa. Tidurlah. Kau sudah kelelahan seperti yang lain. Matamu sampai sayu seperti itu." Sahut Hadyan.

"Tidak ada apa-apa, apanya? Jelas-jelas kau yang bilang tadi bahwa sepanjang jalan ini ada banyak hantu. Bagaimana jika nanti mereka sampai menyebabkan bus kita ini kecelakaan seperti yang sering terjadi di film-film?" Tanya Tasia panik.

Hadyan menggeleng. "Itu tidak akan terjadi. Aku tau itu. Supir kita memiliki iman yang kuat karena ia rajin beribadah. Lagipula, ada yang menemaninya menyetir. Jangan khawatir, tidurlah." Ia menegakkan tubuhnya dan mendorong lembut pundak Tasia untuk kembali bersandar. Tidak lupa, tangan itu membelai sebentar kening halus gadis itu, membuatnya tersenyum sendiri.

Tasia masih memasang wajah was-wasnya yang menjadi lebih parah saat penyakit parnonya itu kambuh.

Hadyan tersenyum geli. "Aku akan menjagamu. Aku berjanji. Tidurlah."

Entah mengapa, hanya dengan mendengar kalimat itu dari mulut Hadyan dan melihat bagaimana ekspresi wajah pria itu, berhasil membuat Tasia tenang hingga akhirnya ia bisa tertidur.

***

'Aku ingin pulang..'

Ia merasakan kedua pipinya basah dan tangannya meremas kain satin halus yang sedang ia diduduki.

Tasia membuka kedua matanya yang terasa berat dan basah. Samar-samar, ia melihat wajah Hadyan sangat dekat padanya. Hadyan bahkan terlihat begitu gagah dibanding dengan penampilan kesehariannya.

'Aku ingin pulang! Tolong biarkan aku pulang! Aku mohon!'

"Kenapa aku mengatakan itu? Hadyan, mengapa aku menangis? Apa yang terjadi?"

"Aku tidak dapat mengendalikan tubuhku sendiri. Mulutku berbicara sendiri di luar kehendakku. Aku takut. Hadyan, tolong! Apa yang terjadi padaku?"

Tasia menatap kedua mata Hadyan yang juga menatapnya lekat. Ia ketakutan dan kebingungan. Namun, tatapan itu, wajah itu, membuat jiwanya tenang.

Ketakutan itu ada, namun ia merasa aman selagi ada Hadyan di sini. Anehnya, sosok Hadyan yang ada di hadapannya itu bagai tidak merespon apa yang ia katakan. Pria itu hanya memasang wajah frustasi.

'Aku mau pulang!'

"Kenapa mulutku terus-terusan mengucapkan kalimat ini?"

"Tasia! Tasia, bangun! Kita sudah sampai." Tata menggoyang-goyangkan dengan kencang pundak sahabatnya yang tidur seperti kerbau itu.

Tasia mendadak membuka matanya dengan terkejut. Ia bermimpi aneh hingga sulit untuk bangun. Kedua matanya melotot bagai habis melihat hantu.

"Yaampun, susah sekali membangunkanmu! Tidak biasanya kau seperti ini. Apa kau sebegitu kelelahannya?" Tata menggeleng-gelengkan kepala.

Lalu Tasia segera mengikut Tata turun dari bus yang sudah hampir kosong itu. Mereka sudah sampai di depan sebuah vila besar dengan lahan lapang yang cukup luas untuk memarkir bus-bus sekolah.

Hari sudah malam. Saat itu waktu menunjukkan pukul sembilan dan para panitia segera mengatur pembagian kamar para peserta.

"Kau kenapa, Tasia? Kelelahan? Atau mimpi makan banyak?" Patra menggodanya.

"Kau tau, tidak? Dia banyak memotret wajahmu saat kau tidur dan tidak bisa dibangunkan tadi." Ujar Mark dengan cengiran.

"Apa?! Kurang ajar kau, Patra! Kemarikan ponselmu!" Tasia langsung berusaha merebut ponsel yang tengah digenggam oleh pemiliknya itu.

Patra tertawa keras. "Ayo! Loncat! Loncat seperti pocong perawan!" Serunya dengan mengangkat ponselnya tinggi-tinggi.

Tasia tidak menggubris godaan sahabatnya dan tetap berusaha melompat meraih ponsel tersebut dari si jangkung itu. Tiba-tiba, kedua matanya menangkap suatu pemandangan hingga ia berhenti melompat dan fokus ke sana.

"Marya benar-benar agresif, ya?" Tawa Patra, menatap hal yang sama dengan yang sedang diperhatikan gadis berkaos kuning itu.

Hadyan sedang bercengkrama hangat dengan Marya di samping pintu bus lainnya yang masih terbuka. Mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran.

"Marya benar-benar sangat menyukai Hadyan." Gumam Tasia.

Patra menatapnya beberapa detik. Wajahnya menampakkan ekspresi bingung dan lucu l. "Kau.. menyukai Hadyan, yah? Apa aku salah?"

Tasia menggeleng. "Tentu saja tidak. Dan aku tidak boleh."

Patra mengerut. "Kenapa? Karena Marya?"

Tasia menatapnya dan tersenyum lebar. "Tidak apa-apa." Jawabnya, lalu segera pergi meninggalkan Patra yang masih menatapnya bingung. Ia telah melupakan masalah foto tadi.

'Aku tidak bisa mengharapkan kembali sesuatu yang pernah aku tolak. Aku tidak ingin menjadi manusia egois.' Gumam Tasia.

Setelah mendapat informasi kamar, para peserta dipersilahkan mengisi dan berkemas di kamar masing-masing yang sudah ditetapkan.

Tasia, Tata, dan Marya ditempatkan di dalam sebuah kamar besar bersama dua gadis lainnya. Mereka mulai mengemasi barang-barang bawaan dan membersihkan diri di kamar mandi secara bergiliran.

Saat hendak mandi, Tasia melirik tubuh telanjangnya yang terpantul pada cermin wastafel.

Ia menyadari sesuatu yang dulunya ia harapkan terjadi, namun sekarang malah membuatnya terkejut.

Tanda memar itu nampak lebih pudar dari yang terakhir kali ia lihat. Tanda memar yang Hadyan buat, yang adalah penanda berapa lama lagi pria itu bisa berada di dalam kehidupannya. Perlahan, perasaan sesak mulai merambati dadanya.