Chapter 4 - Hiburan

Tasia tertidur begitu pulas. Untungnya, mereka sudah makan tadi sore begitu sampai di hotel.

Tasia mudah sekali tertidur. Ia juga sering mengantuk. Sejak kecil, fisik Tasia memang kurang baik sehingga ia kerap mengalami anemia yang menyebabkannya mudah lelah dan jatuh sakit.

Namun karena sifatnya yang ceria dan hiperaktif, jarang sekali orang bisa melihat bahwa sesungguhnya fisik Tasia itu lemah.

Gadis itu terbangun ketika mendengar ponselnya berbunyi. Tertera di layar ponsel tersebut bahwa neneknya menelepon.

Tasia mendecak sebelum ia menghempaskan lagi kepalanya yang terasa berat ke atas bantal putih yang empuk dan nyaman. Namun nada dering itu tetap berbunyi dengan nyaring hingga masuk ke dalam otaknya.

"Tasia.. Angkat teleponnya! Berisik!" Omel Tata setengah sadar.

Sementara, Marya tidak terusik sama sekali. Teman-temannya selalu berkata bahwa Marya tidur seperti orang mati. Mungkin ketika terjadi gempa atau kebakaran, jika ada korban yang meninggal, salah satunya pasti adalah Marya.

"Halo.." Jawab Tasia tidak niat.

"Kau di mana, Anastasia?!" Tanya neneknya dari sebrang telepon dengan suara nyaring hingga gadis itu menjauhkan ponsel dari telinganya dengan mimik wajah meringis.

"Aku sedang pergi dengan teman-teman, Nek. Aku kan sudah mengatakannya pada nenek. Nenek juga sudah memberi ijin," Jawabnya Tasia. Hal ini terjadi lagi.

Terdengar keheningan sejenak di sebarang, sebelum nenek Taska kembali menjerit, "Kau jangan nakal di sana! Jangan seperti ibumu! Bermain dan berteman sembarangan hingga meninggal! Jangan merepotkan keluarga! Kau pikir aku mudah mengurusmu dari kecil, hah?!"

"Tidak, Nek.. Aku tidak akan nakal. Aku berjanji. Nenek, ini sudah malam. Lebih baik nenek tidur." Jawab Tasia pelan dengan penuh kesabaran.

Di satu sisi, Tasia tidak ingin mengganggu tidur teman-temannya dan di sisi lainnya, ia tidak mau membentak nenek yang sangat ia sayangi.

"Aku tidak peduli! Kau harus pulang sekarang! Jangan menjadi menyusahkan seperti orangtuamu!" Bentak neneknya lagi.

Tasia hanya diam terduduk dengan masih menempelkan ponsel yang tersambung itu pada telinganya sambil menatap kosong ke depan.

"Ibu.. jangan begitu, Bu. Ini sudah malam. Astaga Ibu.."

"Aku sedang menghubungi Tasia. Dasar anak nakal itu! Ia pergi dari sini! Bagaimana jika ia meninggal juga?!" Terdengar suara gaduh dari sebrang telepon.

Tasia hanya bisa menghela penjang dengan frustasi.

"Tasia.. Anastasia.." Panggil tante Janet yang sudah berhasil merebut ponsel neneknya.

"Ya, Tante?" Tasia segera bangkit dari ranjangnya dan berjinjit-jinjit menuju pintu kamar ketika melihat Tata yang bergerak-gerak seakan ia hampir terbangun lagi.

Tasia keluar dari pintu kamar dan duduk di sofa rotan ruang tamu.

"Tasia, maafkan nenekmu, yah. Tante hanya ingin kau selalu ingat bahwa nenek sudah pikun. Jangan sampai terbawa emosi. Tolong jangan anggap serius ucapan nenek, yah, Sayang.." Ujar tante Janet lembut.

"Baik, Tante. Aku mengerti. Lagipula, aku sangat menyayangi nenek. Aku tidak akan membenci nenek hanya karena ia berubah karena sakit pikunnya." Jawab Tasia pelan.

Tante Janet tersenyum lega. "Kau harus selalu bersabar yah, Tasia. Mengenai orangtuamu, mereka sama sekali tidak menyusahkan siapa pun. Kami semua sama sepertimu. Kami menyayangi mereka. Itu semua hanyalah musibah, bukan kesalahan siapa pun."

Tasia mengangguk pelan. "Aku mengerti, Tante. Trimakasih." Ucapnya dengan air mata yang dengan perlahan menetesi pipi tanpa dapat ia tahan.

"Baiklah kalau begitu. Jangan sampai liburanmu menjadi kacau hanya karena ini. Semua perkataan nenek, kau anggap saja angin lalu. Sekarang, kau bisa kembali tidur agar besok kau bisa bersenang-senang." Tutur Tante Janet dengan nada menyemangati.

"Baik, Tante. Trimakasih. Tolong jaga nenek, yah, Tan.." Sahut Tasia.

"Oke!" Sahut tante Janet sebelum menutup telepon mereka.

Tasia menurunkan ponselnya dengan lemas. Perlahan, air matanya mulai mengalir menjadi deras.

Tasia jarang sekali menangis. Ia tidak mudah sedih bahkan jika ada seseorang yang berbuat jahat atau melukai tubuhnya sekali pun. Ketika ia jatuh dan terluka pun, ia tidak menangis.

Namun hanya satu kelemahannya, yaitu orangtua dan kakaknya yang beberapa tahun lalu meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas tragis.

Anastasia adalah putri sematawayang dari pasangan Sony dan Renata. Nyawa kedua orangtuanya dan kakaknya tidak bisa terselamatkan karena pendarahan otak dan organ dalam yang hancur akibat kecelakaan mobil yang mereka alami dalam perjalanan untuk berlibur panjang.

Neneknya, Sumia, adalah satu-satunya anggota keluarga tersisa yang sangat dekat dengan Tasia. Dapat dibilang, gadis dengan lesung pipi itu adalah cucu kesayangan dari sang nenek.

Namun neneknya mulai menunjukkan gejala sakit pikun satu tahun sebelum kejadian maut yang merenggut nyawa kedua orangtua Tasia.

Setelah itu, penyakitnya menjadi semakin parah karena ia sangat terpukul melihat kematian anak kesayangan, menantu, dan cucunya.

Kejadian tersebuat membawa kehidupan Tasia berubah sangat drastis bagai terjun ke tebing curam menuju lautan berombak ganas.

Tasia harus tinggal berlima bersama om, tante, beserta putri mereka dan neneknya dalam satu rumah.

Tasia sering kali merasa kesepian dan ia selalu menerima perlakuan kasar dan omelan tanpa sebab dari neneknya itu.

Terlebih, om dan tantenya adalah pekerja keras sehingga mereka jarang bisa berada di rumah. Putri om dan tantenya juga memiliki segudang kegiatan di luar rumah dan fokus menjadi juara olimpiade sains sehingga harus belajar dan les ke berbagai tempat hampir setiap hari.

"Aku tidak boleh begini! Aku harus kuat! Tasia, kau harus bersabar! Jika tidak, wajahmu akan terlihat jelek besok!" Ujar Tasia, berusaha menyemangati diri sendiri.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam lewat. Namun, kejadian tadi membuat kedua mata Tasia segar kembali dan membuat pikirannya menjadi kacau.

"Mungkin angin pantai bisa memperbaiki suasana hatiku." Pikir Tasia.

Dengan begitu, Tasia membuka pintu utama dan angin pantai benar membuat rambut hitam legamnya berterbangan bagai ilalang di musim panas.

Ia tidak peduli pada angin laut yang dingin dan tetap melangkah keluar dengan mengenakan sandal jepit birunya.

"Kenapa nenek hanya marah padaku? Apakah karena dulu ia sangat menyayangiku? Jangan-jangan para saudara sepupuku sengaja menyumpahiku karena mereka mengiri?" Oceh Tasia sendirian demi membuang rasa sedih. Meskipun sejujurnya, Tasia bukan orang yang pendendam atau suka menuduh orang lain. Ia hanya asal mendumel saja untuk mengusir kesedihannya.

"Uh! Sandal kesayanganku sampai kotor begini! Dasar Patra! Padahal sandalku terlalu kecil untuknya, tapi ia tetap mengenakannya untuk bermain bola," Gumam Tasia dengan mencopot sandal yang ia kenakan dengan kesal.

Tasia mengingat kejadian sore tadi saat Patra dengan tidak sopannya meminjam sandalnya tanpa permisi.

Sebenarnya, Patra tidak menggunakan sandal ketika bermain bola. Ia hanya menggunakannya untuk berjalan ke lapangan tanah merah yang mereka gunakan untuk bermain. Namun, meski itu hanya sebentar, pengaruhnya sangat besar pada sendal imut itu.

Tasia melangkah dengan sebal di sepanjang garis bibir pantai sambil menendang-nedang pasir dengan mulut termanyun. Ia sudah mencoba bernyanyi dan melakukan beberapa hal. Namun tetap saja, ia merasa kesal atas apa yang sudah ia alami.

Hatinya begitu gundah karena banyak hal. Sekarang, masalah kecil saja turut dibawa-bawa untuk ia permasalahkan.

Tasia yang berjalan dengan kaki telanjang membuat cetakan kakinya tergambar di sepanjang bibir pantai. Malam itu sangat gelap, nyaris tanpa bintang. Namun hatinya sedang gusar sehingga dinginnya angin tidak mengusiknya sama sekali.

Tiba-tiba, ia teringat akan cerita legenda seram di pantai itu. Kini, Tasia baru tersadar bahwa dirinya adalah seorang penakut.

Namun ketakutannya langsung mereda saat ia mendapati seorang anak laki-laki tengah duduk di pondokan tepi pantai. Anak itu mengenakan kemeja lengan panjang dan celana panjang berwarna hitam legam.

Tasia merasa heran, orang tua mana yang sangat ceroboh membiarkan anaknya bermain-main sendirian di sekitaran pantai pada malam hari begini?

Ia segera melangkah cepat menghampiri bocah yang duduk membelakanginya itu.

"Hai.. Kenapa kau sendirian di sini, Dik? Tempat ini memiliki cerita seran. Katanya, di laut sana ada kerajaan goib," Ucap Tasia pada anak yang kira-kira berusia tujuh tahun itu dari belakang.

Karena anak itu tidak merespon, Tasia mencoba untuk menyentuh salah satu pundak anak tersebut.

Perlahan, anak itu menoleh padanya, sehingga Tasia dapat melihat wajahnya.

Namun, Tasia terpaku melihat wajah anak itu. Matanya terbelalak dan detik itu juga ia merasakan jantungnya akan segera copot.