Chapter 8 - Kepulangan Tasia

Hadyan menggenggam kedua tangan Tasia.

"Aku sudah memilihmu. Kau harus tinggal di sini bersamaku. Hidup abadi."

Tasia menggeleng lagi dan semakin menangis kejar. Ia tidak mau mendengar kata-kata pria itu. "Aku mau pulang! Tolong lepaskan aku!"

"Tidak! Mulai sekarang rumahmu adalah di istana ini!" Bentak Hadyan.

Tasia tersentak dan mengerinyit. Perlahan, ia menarik kedua tangannya lepas dari genggaman pria itu.

Ia masih menatap kedua mata marah Hadyan. Tanpa pikir panjang lagi, dengan cepat ia melompat turun dari ranjang dan berlari ke arah pintu lalu membukanya. Jika memohon tidak dikabulkan, lebih baik kabur dengan kekuatan sendiri.

Tasia berlari sekencang-kencangnya tanpa tahu tujuan. Yang ia cari adalah pintu keluar dari istana yang sangat megah itu.

Tiba-tiba, Tasia jatuh terduduk karena menabrak sesuatu yang besar dan berbulu seperti bison. Ia mengerang karena bokongnya terasa sakit terbentur lantai marmer.

"Hah?!" Ia terbata dan menyeret tubuhnya untuk mundur, menjauhi makhluk menyeramkan yang ia tabrak barusan. Kedua mata bulatnya bahkan tidak dapat berkedip sanking terkejutnya akan sosok tersebut.

Belum sempat Tasia berteriak, Hadyan sudah menariknya berdiri dan memeluk gadis itu. Ia menyembunyikan wajah Tasia ke dalam dadanya karena tidak ingin calon permaisurinya histeris lagi.

Tasia hanya menangis tersedu-sedu dalam gendong Hadyan yang membawanya kembali ke kamar. Lalu ia kembali didaratkan di atas kasur empuk sang pangeran.

Hadyan menarik dagu Tasia hingga ia melihat wajah gadis itu yang sudah sembab. Ia merasa kasihan dan tidak tega pada calon permaisurinya.

"Anastasia.. lihat aku." Perintahnya lunak.

Tasia membuka mata dan menatap kedua mata tegas Hadyan dengan sendu.

"Kau benar-benar tidak mau tinggal bersamaku? Jika benar, bisa aku tahu apa alasannya?"

"Aku tidak mau tinggal di sini karena aku tidak mengenalmu. Lalu teman-temanku dan keluargaku ada di rumah. Tempatku bukan di sini. Aku ingin pulang ke rumahku." Isaknya.

"Tapi kita akan menikah. Tidakkah kau ingin tinggal di istana megahku? Aku akan memberikan apa saja yang kau inginkan. Aku akan menyuruh seluruh jin di sini untuk merubah wujud mereka menjadi manusia sehingga kau tidak ketakutan lagi." Bujuk Hadyan.

"Menikah? Aku hanya akan menikahi pria yang aku cintai. Sedangkan aku tidak mengenalmu. Kita baru saja bertemu. Bahkan aku tidak yakin ini mimpi atau bukan." Jawab Tasia dengan suara bergetar.

Hadyan menghela nafas berat. "Jadi kau benar-benar tidak ingin berada di sini?" Tanyanya lagi.

Tasia mengangguk. "Ya.. aku ingin pulang. Tolonglah,"

"Baiklah. Tapi kau harus mengingat satu hal. Kau tidak bisa lepas dariku. Dan pada akhirnya, aku akan membawamu kembali ke sini." Ucap Hadyan.

"Tap.." Hadyan segera membungkam wajah Tasia dan saat itu juga ia tertidur.

Hadyan menahan tubuh lemah Tasia. Ia memijat keningnya sendiri. Dilihatnya wajah itu dan dihapuskan air mata yang masih membasahi pipi gadis itu. "Kau sangat cantik. Bagaimana caraku membawamu tanpa paksa?"

Kemudian Hadyan menyibak pakaian Tasia dan menjilat punggung gadis itu dengan lidah ularnya, hingga terbentuk sebuah tanda berupa jeplakan lidahnya dengan warna merah menyala pada punggung tersebut.

"Dayang!" Seru Hadyan.

"Ya, Pangeran," Seketika tiga sosok dayang muncul begitu saja di samping ranjang.

"Pakaikan calon permaisuriku pakaian yang ia kenakan sebelumnya.  Aku akan mengembalikannya ke tepi pantai." Perintahnya tanpa semangat.

"Baik, Pangeran."

***

Hari sudah gelap. Malam itu, sekali lagi, bintang-bintang tidak berani menampakkan diri mereka.

Hadyan melilit tubuh lemas Tasia yang masih tidak sadarkan diri. Ia berenang sampai ke tepi pantai dan melepas Tasia di sana, di dekat sebuah batu karang yang terlihat sebagai tempat paling aman lalu meninggalkan gadisnya dengan hati yang sangat berat.

"Aku akan menjemputmu. Lagi." Tutur Hadyan.

Suara sirene dari mobil ambulans, pemadam kebakaran, dan polisi membuat suasana hotel menjadi semakin riuh dan tegang.

Para perawat segera berhambur keluar dari dalam ambulans dan mengangkut tubuh Tasia yang tergeletak tidak berdaya di pinggir pantai.

"Ya pak. Benar. Kemarin saat kami bermain banana boat, saat itulah Tasia menghilang." Jawab Jordi dengan wajah terlihat pucat pasi.

"Saat kami semua jatuh dari sana, tidak ada satu pun yang melihat bagaimana Tasia menghilang. Dia hanya.. hanya menghilang begitu saja!" Jelas Marya sesunggukan.

"Apakah sebelumnya ada keluhan dari korban mengenai pelampung jaket yang tidak berfungsi?" Tanya polisi berkumis yang mengintrogasi mereka.

Marya menggeleng. "Tidak, Pak. Bahkan yang kami tahu, semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang janggal atau apa pun."

"Baiklah. Trimakasih atas penjelasan kalian. Mengenai penjelasan lebih detail akan dipertanyakan di kantor setelah hasil test rumah sakit korban keluar. Aku permisi," Polisi itu melangkah pergi.

Jordi dan Marya saling menatap untuk saling menguatkan.

Mereka memutuskan untuk pergi ke rumah sakit dengan mobil Jordi, menyusul ambulans yang terlebih dahulu membawa Tasia, Mark, Patra dan Tata pergi.

Setelah sampai di rumah sakit, mereka berdua langsung masuk ke dalam ruangan di mana Tasia berbaring lemah tak sadarkan diri. Di sana, ada mark dan Tata yang duduk di sofa dan langsung berdiri menyambut mereka.

"Bagaimana keadaan Tasia?" Tanya Marya terburu-buru.

"Dokter mengatakan ia baik-baik saja. Tasia hanya mengalami sedikit trauma akibat terkejut saat tenggelam. Organ dalamnya baik-baik saja. Ia juga tidak terlalu banyak meminum air laut." Jelas Tata.

"Syukurlah ia tidak apa," Marya mengela napas lega. Namun rautnya kembali menegang saat melihat ekspresi wajah Jordi.

"Aku tahu, Jordi," Ucap Tata.

"Aneh, 'kan..?" Angguknya.

"Bagaimana bisa, hilang secara tiba-tiba dan baru ditemukan kembali setelah lebih dari 12 jam. Tanpa luka, paru-paru baik, dan hanya trauma psikologi?" Lanjut laki-laki berkacamata itu.

Mereka berdiri melingkar dan saling menatap heran. Saling mengetahui akan pikiran satu sama lain.

"Sejak malam itu, ada yang aneh. Malam saat Tasia pergi keluar ke pantai dan kembali dengan bau kembang tujuh rupa." Jelas Tata.

"Setelah itu, pagi harinya, ia bercerita tentang anak kecil imut yang ia temui malam itu di tepi pantai. Anak yang ia katakan menginap di blok pari dan setelah kami mengecek kamar anak kecil itu, ternyata kamar itu sudah kosong sejak satu atau dua minggu lalu." Tambah Marya, berusaha mengingat-ingat sambil menggosok-gosok lengannya sendiri yang mulai merinding.

"Apa? Serius seperti itu?!" Jordi terbelalak.

"Maksudnya malam itu, Tasia keluar ke pantai sendirian?" Tanya Mark cepat.

Tata mengangguk. "Ia keluar di saat kami sudah tertidur. Dan kembali dengan aroma bunga yang keluar dari tubuhnya. Aku masih sangat ingat bau bunga itu sangat menyengat di hidungku. Namun Tasia sendiri tidak menyadarinya."

"Sudah ada larangan soal keluar di pantai pada malam hari, bukan? Kita tidak boleh melakukan itu seorang diri. Apa yang Tasia pikirkan? Jelas-jelas dia itu penakut." Baru kali ini Patra terlihat sangat serius.

"Kau benar, Patra. Aku juga bingung atas perilakunya. Apa jangan-jangan, ia diikuti oleh sosok dari pantai itu? Sosok anak kecil yang ia ceritakan?" Ungkap Jordi.

"Itulah yang aku takutkan," Tata mengangguk.

"Eng.." Tasia mulai siuman dan teman-temannya langsung mengerumuni sekeliling ranjangnya.

Mark segera memencet tombol darurat agar perawat datang untuk memeriksa keadaan sahabatnya.

Tasia mulai membuka kedua matanya perlahan. Tampak ia kebingungan dan memperhatikan teman-temannya satu per satu.

"Aku di mana?" Tanyanya serak.

"Tasia.. kau ada di rumah sakit. Kau hilang saat kita sedang bermain banana boat. Lalu kami menemukanmu terdampar kembali di tepi pantai." Jelas Tata pelan.

Tasia tampak berpikir keras dan kebingungan. Kerutan tergambar jelas di dahinya.

"Hilang? Kapan? Aku tidak ingat. Terakhir yang aku ingat, kita semua terjatuh dari banana boat" Jawab Tasia.