Chereads / SILVER TIME / Chapter 5 - Mengenal Cinta

Chapter 5 - Mengenal Cinta

Kuliah itu enak, tidak seperti sekolah SD, SMP, SMA.

Kuliah itu bebas, entah kita mau rajin masuk atau tidak, itu nggak bakalan di cari dosen.

Kuliah itu tidak menuntut mahasiswa untuk selalu terpaku pada pelajaran, kadang teman-teman yang duduk di pinggir belakang hanya masuk yang penting sudah mengisi presensi dan main hp sendiri.

Kuliah tidak mengenal rapot, atau sistem rapotan yang diambil oleh orang tua tapi, nantinya mahasiswa diberikan kartu hasil studi yang dibagikan sesudah ujian akhir semester. Kartu Hasil Studi (atau biasa disingkat KHS) adalah rapot bagi mahasiswa dan di sana tercantum IPK (Indek Prestasi Komulatif) sebagai hasil belajar dan IPS (Indeks Prestasi Semester) adalah hasil UAS. Menurut informasi yang aku peroleh, untuk mendapatkan IPK 3 itu mudah, asal kita rajin masuk kelas dan mengerjakan tugas perkuliahan.

Karena aku sangat menyukai matematika, aku termasuk orang yang rajin mengerjakan tugas. Tugas kuliah biasa di share di grup WA oleh para dosen dan selalu di beri tenggat waktu atau dateline. Aku selalu mengerjakannya sebelum tenggat waktu itu berakhir, karena aku termasuk orang yang phobia dateline.

Aku juga tidak suka mengerjakan tugas dengan terburu-buru apalagi maraton tugas seharian karena bagiku itu sangat menyiksaku. Apalagi kebanyakan tugas kuliah bisa terbilang cukup mikir, untuk tugas-tugas yang dirasa cukup memakan waktu untuk berpikir.

Aku kira selama kita mengambil jurusan yang sesuai dengan minat kita, contohnya matematika … aku pikir hanya pelajaran matematika yang diajarkan. Ternyata ada pelajaran lain yang diajarkan di kuliahan.

Contohnya, pendidikan pancasila yang diajarkan oleh pak Toib, pelajaran Biologi yang diajarkan oleh bu Ana, dan pelajaran agama yang diajarkan oleh pak Khozin, selaku dosen agama islam. Sayangnya di sini mata kuliahan agama hanya berbatas pada pengembangan kemampuan dan ilmu spiritual serta akhlak, dan tidak ada untuk agama non islam. Mayoritas orang yang ada di Lumajang memang beragama islam.

Lalu, tugas kuliahan tidak hanya dikerjakan individu saja. Beberapa tugas seperti pembuatan makalah, proposal dan program kreativitas mahasiswa ..., beberapa tugas tersebut di kerjakan secara berkelompok.

Aku selalu berkelompok dengan Lidya, Sarah dan Aya terkadang berkelompok dengan Ivy dan Hana. Tapi, mereka berdua selalu ingin berkelompok dengan Raka.

Beberapa bulan berlalu, Raka masih sepopuler itu. Aku tidak pernah berkelompok dengannya. Tampaknya, wajah tampannya itu yang membuat orang lain ingin berkelompok dengannya, sikapnya yang cool dan berkharisma ... dan juga tidak hanya wajah cakepnya yang memikat seseorang tetapi, cara bicaranya yang tegas dan dia yang pintar.

Beberapa anak laki-laki yang kesulitan mengerjakan soal matematika selalu saja bertanya padanya ....

Aku memang tidak pernah tahu dia sehebat apa, mungkin jika dilihat dari cara dia memperlakukan orang lain dengan santai itu ... dia pasti orang yang kemampuannya jauh di atasku. Ah~ aku jadi minder.

Raka, yang aku dengar dari Ivy yang pernah berkelompok sekali di pelajaran agama dengannya ... dia lulusan SMA Negeri 2 Lumajang.

Siapa pun tahu, kalau SMA itu adalah salah satu SMA favorit di kota ini. Sudah tidak diragukan lagi kalau begitu. Tapi, saat aku memperhatikannya dari kejauhan ... entah kenapa ... dia menyembunyikan sesuatu yang tampaknya tidak boleh diketahui orang lain.

Ataukah memang benar, orang setampan dia itu irit bicara.

Bahkan saat aku saking penasarannya, aku terkadang sering curi-curi pandang padanya. Tapi, dia sama sekali tidak melihatku, ah~ syukurlah ....

*Ntar dikira naksir (>_<)

Lanjut!!

****

Tak terasa 6 bulan begitu cepat jika dilewati dengan santai dan selalu mengerjakan tugas tepat waktu. Kini aku sudah semester 2. IPK-ku bagus, di atas tiga (yah~ tiga koma sekian) ... kuperlihatkan pada kedua orang tuaku ... hasilnya cukup membanggakan. Meskipun aku tidak bisa memberikan sesuatu yang cukup besar pada kedua orang tuaku, hanya melihat IPK-ku yang bagus saja senyum ceria itu terukir di wajah mereka berdua.

Aku tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan kedua ini. Yah~ walaupun aku masih merasa kecewa tidak bisa kuliah di perguruan tinggi negeri, aku buktikan bahwa bisa lebih baik di kampus ini.

Lalu, aku ingin mewujudkan impianku, bagiku kejujuran itu harus ditegakkan!!

Aku akan berusaha keras!!

....

Hari pertama di semester 2, kupikir akan pindah-pindah kelas seperti di SD, SMP, SMA ternyata tetap. Berarti, aku bisa bersama dengan teman-temanku kurang lebih empat tahunan.

Cukup lama~

Lalu, pertama kalinya di semester 2 ... aku mendapatkan surat cinta dari seseorang di kelasku, bernama Febri. Dia orang yang sangat pemalu, umurnya 1 tahun lebih tua dariku. Dia selalu duduk di belakang dan memakai pakaian gelap (hitam, biru dongker, navy, maroon, coklat tua), pasti warna pakaiannya tidak lepas dari itu.

Saat aku perhatikan, Febri bisa dibilang cukup ganteng, tapi di banding Raka yang populer bukan cuma di kelas ini saja tetapi hampir menjadi bahan pembicaraan seisi sekolah, Febri masih kalah jauh gantengnya (maksudnya kan gak buruk-buruk amat). Dia orang yang mapan dan sudah bekerja di Deller Sepeda Motor Agung Lumajang.

*Kronologi:

Sore itu sebelum jam perkuliahan pak Lukman dimulai, Febri mengajakku di bawah tangga ....

Waktu itu di luar ruang kelas B2 masih sepi, hanya ada aku seorang. Febri menghampiriku dan bertanya padaku, "Sas, boleh minta waktunya sebentar?" tanya Febri padaku dengan wajah datarnya.

Aku memastikan dengan melirik ke kanan-kiri karena kurasa Lidya dan lainnya belum datang.

"Oh iya boleh, ada apa?" tanyaku heran, kemudian dia memulai isyarat tangan mengajakku.

"Sini," ucapnya sambil berjalan kemudian dia melambaikan tangannya pelan padaku, "Ayo!" dia berbelok dan aku segera mengikutinya, di sebelah selatan ruang B di bawah tangga.

Tumben dia mengajakku bicara ('-') ada apa, ya?

Cukup hening, dia tertunduk diam.

Kemudian Febri berbalik, membuka mata dan menatapku lebar-lebar, wajahnya sedikit memerah. Ia mulai membuka risleting tas di bagian depan, mulai mencari sesuatu dan ketemu!! Dia menyodorkan surat yang dilipat dengan bentuk origami kuno berwarna hitam padaku.

"Apa ini?" gumamku heran yang secara refleks aku menerimanya.

"Bukalah!" perintahnya dengan sedikit nada getar di bibirnya yang menunjukkan kegugupannya.

Di mana aku harus membukanya ...? pikirku heran sambil membolak-balik surat tersebut, di situ ada tempelan stiker love di ujung pembukanya.

Aku ragu untuk membukanya, dan aku menatap Febri sekilas sebelum membuka surat ini, dia tampak tersenyum tipis dengan wajah malu-malunya menatapku.

'Jangan-jangan ....'

Aku mulai membukanya ..., SURAT CINTA!!

Tuh kan, ternyata benar!! Aku mulai mengendurkan mata, wajahku tampak malas untuk menerima sebuah surat dengan konsep cinta-cintaan seperti ini.

Konsep? Ya, begitulah!

Tapi-

Ketika kubaca surat ini, tatanan bahasa yang di tulis oleh orang yang cukup pendiam seperti Febri ini, kurasa sangat puitis selevel dewa ..., aku begitu tersentuh membacanya.

Isi surat itu ....

".... Kulihat dari kejauhan jari-jemarimu yang indah tengah menari di kertas putih di sebuah bangku berwarna coklat, dengan paras cantiknya kamu menganggukkan kepala menyimak perkataan yang dilontarkan dosen di depan papan tulis. Kamu yang tengah mengedipkan mata, kemudian menatap lurus ke papan tulis, dengan gincu merah jambu di bibir yang sekilas terlihat oleh pandanganku ini rasanya ingin sekali mengecupmu. Senyummu yang menawan ketika menjawab salah setelah perkuliahan berakhir membuat hatiku penuh gairah seolah-olah kamu menyelamatku dari dunia yang gelap ini. Sikap tulus pada teman-temanmu, bak bidadari yang turun dari surga nan suci dan ingin selalu kupuja. Semenjak hari pertama perkuliahan itu, aku mulai memperhatikanmu, aku mulai menyukaimu, aku memendam rasa ini hingga suatu hari ada jarak di antara kita. Namun, aku semakin jauh darimu dan hanya bisa memandangmu dari kejauhan. Aku tidak kuat memendam rasa ini, aku terlalu gugup untuk berbicara padamu. Jadi, maukah kamu menerima cintaku yang murni ini? Aku-"

.... Mencintaimu.

Kyaaaaah!! Kata-katanya membuatku terpukau namun ....

Ada lanjutannya lagi ....

"Aku akan mencintaimu selamanya seumur hidupku, aku berjanji akan menjagamu dan tidak akan pernah meninggalkan dirimu, aku-"

[SKIP! Isi suratnya terlalu panjang dengan bungkus yang sederhana ini]

Aku baca kelanjutannya di rumah saja, tampaknya ini menghabiskan banyak waktu kalau aku baca seluruhnya sedangkan aku tidak bisa membaca cepat.

Sementara Febri dengan wajah malu-malunya yang menatapku serius, sepertinya menunggu jawabannya dariku.

"...."

Aku terdiam cukup lama setelah membacanya dan mulai memikirkan sesuatu, "Apa aku harus menerima orang ini? Surat cinta yang tidak biasa?" Aku bingung, aku tidak punya pengalaman cinta selama ini.

Mungkin beberapa orang jika aku menceritakan ... tidak akan percaya, pasti pikir mereka ... "Orang secantik ini tidak punya pacar." Ah~ reaksi kaget dan tidak percaya dengan tatapan keraguan itu sudah biasa aku temui, bahkan saat ibuku mengenalkanku dengan teman-temannya (ibu-ibu rempong di kampungnya, Gombleh kan luas).

Aku mulai melipat surat ini dan kumasukkan kembali ke bungkus surat itu ..., ya sebut saja amplop.

Dia masih memandangiku setelah aku terdiam lama memikirkan sesuatu, aku berpikir ... "Bagaimana akhirnya jika aku menerimanya lalu pacaran, dan berakhir seperti mbak Alisa? Sampai semester 2 ini aku jarang melihat mbak Alisa ...."

"Hmm ...." gumamku pelan.

"Ba-bagaimana?" katanya dengan canggung "Apa jawabanmu?" dia menantikannya dengan sikap cukup sopan.

"...." Ah~ apa yang harus kukatakan!? Mana mungkin aku pacaran dan menjalin hubungan yang tanpa kepastian ini? Secara, dia memang sudah bekerja dan cukup mapan, wajahnya juga tidak buruk, penampilannya sopan dan rapi. Dia bisa jadi cowok idaman. Tulisannya yang indah juga ... orang selain aku yang menerima surat cinta seperti ini pasti terpikat.

Tapi, aku tidak siap. Aku tidak siap menaruh hatiku padanya ....

Aku takut mengalami kegagalan cinta seperti yang dialami mbak Alisa maupun temanku dulunya. Atau aku takut hubungan itu menjadi kelewatan dan aku hamil duluan.

Jika aku belum mewujudkan impianku ... aku tidak siap menaruh hati ini pada orang lain ... terutama orang yang menyatakan cinta seperti ini ... aku tidak bisa langsung mencintainya.

Tapi, jika terus menerus menjomblo ... Aarrgh~ aku takut dikatakan tidak gaul. Teman-temanku tampaknya punya ketertarikan dengan hal-hal cinta seperti itu, kenapa aku merasa aneh.

Apa aku harus menerimanya?

Aku menatapnya, memberanikan diri mengatakan ini di hadapannya, "Maaf-" spontan kata-kata itu keluar dari mulutku dan membuatku ingin menelan ludah.

Aku belum melanjutkan perkataanku, dia sudah meresponsnya duluan, "Oh." Celetuknya pelan, kemudian ia mulai tertunduk murung. Sepertinya itu jawaban kekecewaan.

"Aku ..., belum-"

Lagi-lagi, aku tidak bisa mengatakannya dengan jelas.

"Iya tidak apa-apa, terima kasih ya." Dia yang tadinya tertunduk sekarang memandangku memasang senyum ceria. Aku tahu senyum yang dipasang itu memaksakan dirinya untuk ceria, padahal hatinya tersayat kesedihan telah ditolak oleh orang yang dicintainya.

Siapa sih, yang tidak sedih di tolak oleh orang yang selama ini disukainya?

[Penulis: Aku pernah suka seseorang dan berharap ingin bersama dengannya. Itu terjadi ketika SD, SMP, SMA ..., tapi cintaku pada mereka itu tidak nyata. Aku tidak merasa begitu sedih karena aku pikir "Ah, dia bukan jodohku." Ikhlaskanlah! Jangan dipikirkan sekilas cerita Auhtor yang payah ini, et dah malah numpan curhat]

*Btw, macem orang Jepun aja nembak pake surat :"D

Lanjut ....

Akhirnya, kami mengakhiri obrolan manis ini, ya sebut saja suasana romantis yang penuh rasa canggung ini.

"Aku ke ruang B duluan ya." Aku pamit dengan melangkah pelan.

"Iya, sebentar lagi aku juga nyusul." Dia berjalan di belakangku dengan masih memasang senyumannya. Aku tahu ... itu senyum yang dipaksakan.

****

Kulihat dari kejauhan Lidya dan lainnya sudah duduk di depan ruang B, mungkin Lidya menungguku ....

Aku segera membuka ponsel yang aku ambil dari saku rokku. Ah! Ternyata benar, dia meninggalkan spam chat.

Lidya: "Beb, ada di mana?"

Lidya: "Beb, ada di mana?"

Lidya: "Udah sampai belum?"

Lidya: "Buruan beb, sebentar lagi jam 4"

Lidya: "Beb?"

Duh~ aku jadi tidak enak sendiri kalau pesannya tidak aku balas.

Dia tengah sibuk mengetik lanjutan pesan chat-nya, aku tahu ... pasti dia akan mengetik, 'Kok di R doang, beb?'

Aku sengaja berjalan dengan langkah kaki pelan, mengendap-endap dari arah selatan perlahan aku akan membuat kejutan untuknya ..., "DOOORRRR!" teriakku sambil menepuk pundaknya.

"Hahaha kaget ya?" kataku dengan senyum licik.

"Kaget banget, beb." Jawab Lidya sambil membelalakkan matanya padaku.

Aku tersenyum tipis, kemudian teman-teman yang ada di bangku memandangiku.

"Loh kamu dari mana, beb?" tanya Lidya heran.

"Iya nih, kok Febri dan Sas datang bersama, tumben." Celetuk Hana sambil menyapa Febri. Hana ini sepertinya cukup peka, lain kali kalau soal cinta aku harus hati-hati padanya.

"Oh itu tadi si Febri ...." Aku hendak bercerita lalu terdiam.

Eh!? Apa aku harus bercerita? Tiba-tiba aku merasakan tatapan tajam Febri yang baru saja masuk ke dalam ruang kelas B.

"Febri kenapa?" sahut Sarah yang perlahan mendekatiku.

"Oh dia ...." Duh, kok aku menjawab refleks mau cerita gini. Aku langsung terdiam begitu mengingatnya. Suratnya Febri juga aku letakkan di tas bagian depan.

"...."

Wajah teman-teman semakin penasaran menatapku.

Tidak mungkin kan aku mengatakan hal ini di depan teman-temanku!?

Bahwa aku punya cerita cinta, ditembak oleh Febri dan berakhir dengan menolaknya. Sementara aku sendiri, tidak punya pengalaman cinta ....

"Beb?" tanya Lidya yang ikut penasaran.

"Aku ...."

________

To be Continued