Chereads / School of Persona / Chapter 22 - Mood Akhir Pekan

Chapter 22 - Mood Akhir Pekan

Adri menaruh ponselnya lesu ke atas meja ditengah tengah sarapannya bersama Haikal pagi itu. Sesuatu membuat moodnya tidak baik sepagi ini. Haikal yang memperhatikannya sedari tadi sembari asik makan sudah tahu apa yang terjadi dan membuat istrinya bad mood di akhir pekan itu. Namun Haikal belum banyak berkomentar sejak tadi, takut jadi dimarahi. Adri kan biasanya seperti itu, dibuat kesal oleh orang lain, mengomelnya pada Haikal. Tidak diambil hati sih, tapi Haikal kadang tidak kuat mendengar omelan dengan suara melengking istrinya itu.

"Kakak gak kemana mana kan hari ini sampai besok?" tanya Adri kemudian.

Haikal menggeleng, tersenyum semanis mungkin, "Enggak dong, mana berani Kakak pergi pergi, kerja kerja weekend gini," ujarnya, mengingat Adri si posesif kala weekend.

Adri mengangguk ngangguk puas, mulutnya itu dipenuhi salad, masih selalu menggemaskan di mata Haikal. "Mau jalan jalan? Ayo aja, Kakak temenin kemanapun Kamu mau," tawarnya.

"Gak tau …"

"Ayolah. Kamu bete kan gara gara gagal nego sama Ayahnya Saheera?" tebak Haikal tepat sasaran.

Adri mendengus kesal, "Iyaa! Kasian Saheera Kak, seleksi dua beasiswa itu tuh gak mudah, apalagi di waktu sekarang. Pas Aku kuliah aja susah, gak lolos."

Haikal mendengarkan seksama saja, paham betul betapa Adri itu simpatik dengan segala urusan anak anak HSL tanpa terkecuali, apalagi ini Saheera, salah satu yang terdekat dengannya, "Well, mau gimana lagi Dri? Kita gak bisa selalu intervensi keputusan keluarga mereka. Kita mungkin gak bisa memahami dengan baik, or put our feet on their shoes, to make a better judgement bahwa Ayahnya gak mendukung anak."

"Iya sih. Tapi … ah yaudah deh, bete."

"Ih, lucu deh kalo bete. Makanya, Kakak ajakin jalan-jalan deh kalau Kamu gak mau. Ya? Oke mau." Haikal mulai memaksa, bertanya sendiri, menjawab sendiri. Untung Adri hanya menurut, Ia paling suka kalau Haikal sudah mengatur wacana jalan-jalan dadakan, "Kita mau kemana?"

"Ke … daerah apa tuh namanya ya masih di Jawa Barat. Dia tuh air terjun gitu, tapi airnya tuh jernih banget, Kamu pasti suka."

"Ih? Beneran? Tapi telat gak kalau kesana jam segini? Nanti macet di jalan Kakak bete."

"Gak kok. Santai aja, sekarang udah biasa kena macet begitu. Ada Kamu juga, gak akan bete," kilahnya senyam senyum sendiri. Adri hanya merotasikan matanya malas, "Paling juga nanti misuh misuh, mukulin stir. Males ah, gak asik Kakak kalau udah marah."

Haikal menghela nafasnya dalam, serba salah memang, "Yaudah, itu kan inisiatif Kakak, gapapa kalau Kamunya gak mau, gapapa …" ujarnya berpura pura ngambek, membawa piring bekas makannya ke wastafel, membuat Adri buru buru berdiri, "Iya iya! Mau kok, percaya deh. Hehe," cegahnya sebelum Haikal benar benar ngambek.

Dasar, pasangan paruh baya itu masih punya tradisi ala -ala anak muda yang tidak kunjung luntur. Ketidakhadiran anak biologis diantara mereka mungkin penyebabnya, membuat semua trend anak muda di masa kini dan masa mereka diadopsi langsung untuk mereka sendiri lintas generasi.

Haikal akhirnya tersenyum, merasa dramanya pagi ini menang, "Oke Sayang. Pura pura aja kok, sekarang siap siap, setengah jam lagi Kita cabut."

"Ih! King of Drama banget."

"Iya, I'm your King and you're my Queen kok."

"Hahaha! Kak Haikal alay!"

"Ish! Masih aja Kamu tuh ngatain Kakak alay alay …"

"Aaa ampun ampun! Kaa! Ampun!" Adri berteriak teriak, karena Haikal menggelitikinya sampai berlari lari begitu. Hm, akhir pekan yang kembali ceria.

****

Lim bernyanyi nyanyi kecil seiring langkahnya menuju ruang tengah asrama. Suasana hatinya sedang senang sepulang berbelanja di supermarket. Ya, sesederhana itu memang sumber kesenangan siswa rantau asal Surabaya itu. Padahal yang dibeli biasa saja; perawatan diri standar, sandal, dan beberapa cemilan untuk dirinya sendiri.

"Kokooo dari manaa?" Leon menyapanya begitu sampai di ruang tengah. Gadis itu sepertinya baru kembali dari ruang laundry, terbukti dari sekantung plastik transparan berisi beberapa helai pakaian. Anak-anak asrama itu memang difasilitasi untuk hanya fokus belajar, beraktivitas, dan beribadah oleh Haikal dan Adri.

Urusan makan, mencuci, menyetrika baju, sampai mencuci piring bukan tanggung jawab mereka. Piket pun sebenarnya inisiatif yang diturunkan dari angkatan pertama yang merasa terlalu dimanjakan oleh kedua orang tua angkat mereka itu.

Memang, asrama impian setiap siswa.

"Habis beli beli. Leon mau gak?" tawarnya begitu membuka sebungkus makanan ringan; keripik kentang tanpa minyak.

"Mauu!" Leon si penyuka jajan mana mau menolak, "Ko, Kamu tuh ada bisnis apa gimana sih? Sejahtera banget kayaknya soal keuangan," ujarnya membuka obrolan. Penasaran sih, bukan sekedar kepo.

Lim mengangguk kemudian, "Ada sih, lagi dikembangin."

"Wah, beneran ternyata. Soalnya sering denger Kamu ngomong di telepon soal supply supply, distributor gitu. Gak sengaja sih, makanya kepo."

"Hmm gitu. Ya gimana ya Yon, kurang fokus sih sebenernya kalau sambil sekolah. Makanya itu tuh adekku di Malang yang banyak urus jualannya."

"Oh gitu, keren banget. Kamu jual produk? Jasa? Atau apa?"

"Sejauh ini baru produk sih."

Leon manggut manggut, kembali mengambil sebuah keripik dari kemasan, "Ko, nanti kan divisi Bisnis mau ngadain program kewirausahaan gitu …"

"He em, terus?"

"Kamu nanti share share ya. Gak terlalu berpengalaman juga gapapa, sekedar ngasih insight aja ke anak-anak biar pada semangat, terinspirasi gitu kayak … oh! Potensial loh punya bisnis sejak dini … gitu Ko," terang Leon panjang lebar, mempromosikan sekalian agenda divisinya di asrama.

Namun Lim tampak berpikir, ragu, "Duh, berlebihan gak sih Yon kalau Aku? Mending sekalian aja yang udah pro, biar mantap."

"No, lebih mantap kalau liat contoh yang lebih realistis Ko. Bisa aja sih Kita ngundang orang dari luar, atau ya … Bunda gitu, kan Bunda pengusaha juga. Tapi kayak terlalu jauh bayanginnya gitu, pasti diantara Kita bakal bilan 'oh, ya kan Bunda udah lama mulai bisnisnya, yaudah deh berarti nanti-nanti aja mulai bisnis' gitu," lanjut Leon mempertahankan argumen. Dirinya yang sering disebut sebagai 'Lobbyst' oleh Jerry itu memang benar punya skill nego mumpuni, tercermin dari gayanya sekarang.

"Yaudah lah Bunda aja, sama Ayah kan?"

"Ih jangan lah Ko, Koko Lim aja, biar seru gitu. Visinya divisi bisnis kan bukan sekedar punya wawasan bisnis, tapi Kita bener bener mau membuat anak-anak bisa membuat bisnis sebenernya, dengan contoh di sekitar mereka yang terdekat."

"Berarti Kamu juga punya bisnis dong Yon?"

"Hehe, punya sih, sama kayak Koko Lim, masih dikembangin."

"Nah yaudah Kamu aja yang jadi speaker, jangan Aku. Kan lebih mantap kalau ketuanya yang juga cuap-cuap?" Lim kesempatan membalikkan.

"Gak gak, pokoknya Koko Lim. Titik!"