Chereads / School of Persona / Chapter 30 - Kebosanan, Kesepian, Komitmen

Chapter 30 - Kebosanan, Kesepian, Komitmen

Haikal baru saja kembali dari Ibadah Shalat Subuh berjamaah di Masjid Komplek seperti biasa. Agak lama Ia kali ini, karena ada serangkaian diskusi dengan pengurus komplek menjelang hari besar keagamaan terdekat; Maulid Nabi Muhammad. Haikal yang cukup senior di lingkungan tempat tinggalnya itu tentu harus berkontribusi minimal sumbangsih ide.

Sedari awal menginjakkan kaki di komplek rumahnya sepuluh tahun lalu, Haikal memang selalu mewanti wanti dirinya dan Adri untuk jangan sampai bersikap apatis. Sesibuk apapun mereka, harus tetap kontributif meski tak langsung. Setidaknya itu prinsip sosial gotong royong yang Haikal pegang sebagai seorang Minang dan Indonesia pada hakikatnya.

"Eh? Udah cantik aja. Mau kemana pagi pagi?" tanya Haikal begitu melihat Adri tengah mengeringkan rambut di depan meja rias.

"Ketemu supplier Kak, agak jauh dia lokasinya di Sukabumi."

Haikal membantu Adri menata rambutnya sebelum dibalut hijab, "Dri ..."

"Iya? Kenapa Kak?"

"Kamu kok belakangan sering pergi pergi? Pun jarang cerita ke Kakak malamnya tentang rencana pergi Kamu?"

Adri terdiam, hanya membiarkan rambutnya diurus Haikal.

"Tadi malem Kita di rumah ini bareng dari sore, tapi Kamu gak cerita banyak. Kamu pendiem belakangan ini ..." lanjut Haikal, selesai dengan ikatan rambut rendah untuk istrinya itu.

Keduanya tiba tiba hanya terdiam, silih tatap lewat pantulan cermin meja rias, dengan Haikal yang memeluknya hangat, "Kamu kenapa? Menurut Kakak ... Kamu agak beda."

Adti menghela nafasnya berat, bersandar lebih jauh ke dada Haikal, "Maaf Kak, tapi Saya ... gak pernah berniat begitu."

"Iya, Kakak paham. Tapi pasti ada sesuatu yang Kakak gak tau kan?"

"Hmm apa ya ..."

"Apapun itu, entah perasaan, pikiran, apapun. Kenapa gak cerita? Kakak selalu siap dengerin Kamu meski cuma ngomel karena tukang angkut sampah gak tepat waktu loh Dri," candanya mencairkan situasi, sukses membuat Adri tertawa tipis, "Kakak mah lucu ..."

"Iya Kakak lucu orangnya, dan gak suka Kamu jadi dingin. Ada apa sih? Boleh cerita gak?"

"Hmm ..." Adri tampak berpikir, "Mau cerita tapi takut Kakak marah, kecewa ..."

"Cerita dulu, overthinkingnya belakangan. Yuk cerita," bujuk Haikal.

Adri lantas menatap langsung mata suaminya itu, "Belakangan bosan dengan rutinitas Kak. Rasanya monoton aja. Saya juga ... kadang entah kenapa ngerasa kesepian, padahal jelas ada Kakak sama Saya disini," ujarnya jujur, cukup dalam kadar dugaan Haikal. Ini bukan kali pertama Adri mengeluh soal hal yang sama.

"Kamu bosan dan Kamu coba mencari banyak kesibukan biar gak bosan? Begitu ya?"

Adri mengangguk perlahan, "Hm, iya Kak. Maaf ..."

"Kakak udah bilang, gak perlu minta maaf kalau itu memang perasaan Kamu. Itu wajar kok, manusia suka bosan. Tapi Kamu harus tau juga gimana caranya menghilangkan kebosanan itu dengan cara yang tepat. Sekarang Kakak tanya, apa dengan mencari kesibukan diluar, mengurangi cerita sama Kakak atau sekedar small talk bisa menghilangkan rasa bosan Kamu itu?".

"Kayaknya ... enggak."

"Oke ... terus gimana kalau sekarang Kamu bangun kembali semangat hidup Kamu bersama orang orang terdekat, support system Kamu, dan apa yang Kamu punya sekarang ini. Pandang mereka dari sisi lain, disyukuri, dinikmati ..." nasihat Haikal panjang lebar.

Adri hanya mengangguk ngangguk pelan, memeluk tangan Haikal yang juga masih memeluknya, "Ngerasa bersalah sama Kakak ..."

"Gak apa apa ..."

"Tapi Kakak lebih penasaran sama masalah Kamu yang kedua, soal Kamu yang kesepian. Itu beda hal lagi kan dengan kebosanan?"

"Gak tau ..." rengek Adri

"Kok gak tau? Kenapa Kamu merasa kesepian? Kakak kurang ada buat Kamu?"

"Enggak ..."

"Terus?"

"Mungkin sepi aja kalau Kakak gak ada di rumah, lagi kerja misalkan? Rasanya sepi banget Kak, Kita cuma tinggal berdua disini ..."

Haikal terdiam, ubah ekspresinya, Ia mulai sadar sesuatu.

"Saya kadang ... iri aja ... sama temen temen yang setiap siang jemput anak sekolah, pagi siapin bekal, sore nyuruh anaknya mandi. Saya kadang iri Kak sama mereka, hehe ..." lanjut Adri, tertawa paksa di akhir, membuat Haikal mencelos dalan hati.

Kalau sudah begini, Ia tak bisa berkata apapun. Andalannya hanya memeluk Adri erat-erat, membiarkan istrinya itu membagikan sedikit kesedihan padanya. Lagi lagi, fakta bahwa keduanya tidak bisa memiliki keturunan menjadi isu besar, pasang surut, naik turun bisa dihadapi keduanya meski Haikal selalu berusaha menguatkan.

Adri sepertinya hampir menangis, namun buru buru Ia menghapus bakal calon air matanya itu, "Kok sedih pagi pagi gini sih Kak? Kakak mah ..."

Haikal tersenyum simpul, "Kalau mau sedih, sedih aja gak apa apa. Serius deh, jangan jahat sama diri sendiri. Kakak gak mau Kamu nangis di jalan, nangis pas kerja. Mending disini, sama Kakak."

Adri menggeleng, "Gak mau, malu sama Kak Haikal. Saya kan wanita kuat," candanya.

Haikal lagi lagi tersenyum penuh arti, "Kalau Kamu kesepian, apa harus Kita pindah ke SP? Disana kan ramai, banyak anak anak. Siapa tau Kamu terhibur, ada temen kalau Kakak lagi kerja," tawar Haikal.

Adri menggeleng, "Sama aja Kak, mereka bahkan lebih sibuk dari Kakak. Lagipula, Kita kan udah sepakat buat ... gak tinggal disana, memantau dari jauh aja biar mereka bisa mengurus diri dan organisasi secara independen," ujarnya.

"Tapi kesepakatan gak selamanya jadi kesepakatan kalau Kamu butuh, Dri."

"Gak apa apa Kak, ini cuma perasaan dan melankolis sementara Saya aja. Soon will be better kok, percaya deh," ujarnya ubah semangat, tersenyum lebar pada Haikal yang tak lepas memandanginya sejak tadi.

"Dri ... Dri, Kamu tuh bikin Kakak kepikiran kalau diem, orang biasanya petakilan dari dulu."

"Saya udah lewat 40 masa masih petakilan aja? Kasian tulang Kak, keropos."

Haikal tertawa pelan, "Ada ada aja. Tapi Kamu janji ya, Kamu senang, sedih, apapun, cerita sama Kakak, jangan dikurang kurangi jatah Kakak dengerin cerita Kamu. Ya?"

"Iyaa Kak. Makasih ya, dan maaf."

"Bukan lebaran, jangan minta maaf sekarang."

"Ih? Yaudah, nanti aja. Oh ya Kak, hari ini Kakak sibuk juga ya?"

Haikal mengangguk, "Iya, kenapa?"

"Jerry curhat tadi malam Kak, katanya dia bete dan sedih gitu, karena ada rapat komite sekolah hari ini, dia udah buat janji jauh jauh hari sama Mamanya, eh tadi malem dibatalin, Mamanya gak bisa karena ada pekerjaan diluar," cerita Adri, mulai kembali ceriwis usai dinasihati.

"Yah, kasian Jerry sering di PHP in orang tuanya ya? Terus gimana dong?"

"Katanya Jerry mau tetap dateng ke rapat komite, karena menurut dia yang terpenting aspirasi siswa itu tersampaikan. Benar juga sih, cuma Saya kasian aja kalau dia datang sendiri. Andai dia ceritanya kemarin kemarin, pasti Saya temenin."

Haikal tampak berpikir, "Kamu gak bisa cancel meeting sama supplier emang? Kalau bisa direschedule aja ... bilang ada urgensi lain."

"Jerry lebih penting, dia anak Kita, komitmen penuh Kita. Bisnis bisa belakangan."