Chereads / School of Persona / Chapter 4 - Primbon, Science, and Technology

Chapter 4 - Primbon, Science, and Technology

Adzan Subuh berkumandang, aktivitas pagi dimulai. Asrama blok putra dan putri mulai bising akibat suara Iqbaal dan Saheera sebagai pembangun penghuni Muslim untuk shalat berjamaah. Tidak ada aturan baku kalau Saheera dan Iqbaal yang menjadi koordinator memang. Itu hanya kesadaran mereka saja. Suara mereka berdua sudah biasa terdengar bersahut sahutan di balkon yang berseberangan.

Iqbaal di blok putra sayap kanan, Saheera di blok putri sayap kiri gedung.

"Lesh! Bangun Lesh! Pak Presiden!"

DOK DOK DOK!

Iqbaal menggedor pintu kamar Nalesha. Jangan salah, usahanya selalu paling besar untuk membangunkan pimpinan mereka itu. Ya, Nalesha si makhluk norkturnal memang andalannya ronda malam dan anak bawang soal bangun pagi.

"Masih ngebangke aja pasti dia. Nge game sampe jam tiga tadi malem." Jerry melintasi Iqbaal dengan mata setengah tertutup. Jerry bukan Muslim, tapi jenius itu gemar bangun pagi. Tujuan utamanya ruang gym di lantai empat.

Baru hendak menggedor lagi pintunya, Nalesha sudah lebih dulu membuka pintu. "Naon sih Bal gararandeng!" ujarnya mengucek ngucek mata.

"Shalat! Ke mesjid. Telat mulu Lo." Iqbaal kemudian berlalu ke kamar mandi untuk wudhu. Nalesha mengekor setengah gontai.

Sementara itu Saheera juga mengalami kesulitan tersendiri membangunkan para anak gadis. Terutama Dhaiva. Sebelas dua belas dengan Nalesha kalau soal malas bangun pagi.

"Vaaa bangun Vaa! Subuh Vaa!" Saheera tak menyerah mengetuk ngetuk pintu temannya itu.

"Lima menit lagi Heeer!" teriaknya dari dalam.

Saheera hanya geleng geleng kepala sembari berjalan ke ruang wudhu di ujung lantai.

Sebelum masuk ke tempat wudhu khusus wanita, terlebih dahulu Ia berpapasan dengan Nalesha. Laki-laki itu tersenyum seperti biasanya. Saheera hanya memalingkan wajahnya. Menurutnya tidak baik dipandang atau memandang lawan jenis seperti itu.

****

Tahun ajaran baru belum dimulai, ini masih akhir tahun, tiga minggu tersisa sebelum memasuki tahun baru. Tidak ada satupun dari penghuni asrama itu berniat pulang kampung untuk libur akhir tahun. Pertama karena jauh, kedua karena mereka lebih berambisi melakukan sesuatu yang produktif di asrama. Ya, berada di rumah masing-masing membuat mereka banyak bermain dan kalau kata Jerry, bisa menumpulkan otak dan menurunkan IQ.

Lagipula, School of Persona itu tempat ternyaman mereka di perantauan. Mereka datang ke Bogor dari berbagai wilayah di Indonesia dengan budaya berbeda. Biaya pulang kampung itu mahal meski itu termasuk fasilitas yang diberikan HSL. Prinsip ekonomi juga sebenarnya, lebih baik ditabung.

Meski kegiatan sekolah belum dimulai, sarapan pagi sudah dihidangkan bibi asrama jam setengah tujuh pagi. Haikal, Ayah meraka itu mengharuskan semua untuk sarapan dan bangun pagi. Tidak ada hukuman selain mereka akan kerepotan untuk memasak sarapan sendiri.

Perlu diketahui, tidak ada yang bisa memasak diantara mereka bertigapuluh. Baiklah, tidak salah karena di era teknologi jika ingin makan mereka hanya perlu menekan beberapa hal di ponsel.

"Makan makan makaaan!" sorak Wibi.

"Mau makan tuh berdoa Sayang. Sini duduk samping Abang," ujar Jerry.

"Cieeeeee! Ihyy! Prof Jerry punya target eksperimen baru nih!" Dhaiva mengompori.

Semua orang terprovokasi, sementara Wibi sudah memasang wajah julidnya sejak tadi. Sudah biasa siswi jurusan seni musik itu digodai oleh Jerry.

"Manas manasin bursa aja Jer pagi pagi," sahut Iqbaal yang baru saja bergabung. Kursi sebelah Marisa dipilihnya.

"Biasalah Bang Iqbaal, mutinasional player mah gitu," bisik Marisa keras-keras. Mencibir sih sebenanrnya.

Iqbaal balas berbisik, "Kamu hati hati aja Mar sama tipe modelan Jerry. Pintarnya tidak hanya soal ilmu dunia, tapi juga ilmu wanita," ujarnya.

"Beuh gila Bung Iqbaaal, manis pisan!" Leon kali ini, membuat semua orang tertawa. Kali ini juga sama, Leon terkenal suka menggoda kepala divisi politik dan kepemimpinan itu.

Iqbaal hanya geleng geleng kepala, lanjut makan sebelum dingin.

"Leon Aku sarankan Kamu nyerah aja deh sama Iqbaal, aura kalian terlalu berbeda," celetuk Manty tiba tiba.

"Hahahaha!" Kembali seemua orang tertawa.

"Tuh Yon, udah dibaca primbonnya sama Mbah Manty," ujar Noer.

"Manty ... Manty masih aja Lo baca begituan di tahun 2042," sinis Jerry. Ya, Manty itu sangat kejawen, bisa dibilang setengah hidupnya didasari filosofi Jawa.

"Jerry Lo belum pernah baca kan? Cobalah baca sekali, santai, open, jangan julid terus ..." bela Manty.

Jerry menggeleng, "No Manty, that's irrational. I refuse to believe!"

Manty tersenyum miring, "How can you said that's irrational when koe orak gelem sinau!"

"Buat apa mempelajari something that not useful?"

"Gak berguna? Kata siapa gak berguna? Kalau gak berguna gak akan ada primbon itu dijadikan landasan pemikiran masyarakat jawa zaman dulu. Banyak aspek aspek sejarah kemerdekaan diambilnya pakai primbon. Lo aja nih yang mainnya kurang jauh!"

Jerry tersenyum smirk. Astaga, adu mulut itu nampaknya semakin panas. "Gue atau Lo Man yang mainnta kurang jauh?"

"Lo lah. Gue gak menutup diri from science and technology that you anggap as God!"

"Man, Gue juga suka belajar sejarah. Tapi bukan sejarah yang gak masuk akal!"

"Saheera, itu ayam gorengnya bisa tolong digeser kesini?" Semua perhatian tertuju pada Nalesha yang dengan santainya makan.

Hening kemudian, suasana yang tadi memanas karena pertengkaran dua orang berseberangan pikiran itu tergantikan ekstrem dengan dinginnya sifat Nalesha yang jelas tak peduli dengan substansi debat kusir Jerry-Manty.

Saheera yang turut menjadi perhatian pun bingung. "A-ayam yang mana?" tanyanya. Nalesha hanya merespon dengan angkatan alis pada makanan tujuannya.

"Oh? Oke. Bentar." Sepiring ayam goreng didepan Saheera diberikannya pada Nalesha.

Nalesha tersenyum, "Makasih ya," ujarnya, menatap hanya pada Saheera, mengabaikan yang lain yang sedang menatapnya penuh tanda tanya. Halus sekali cara Nalesha mendinginkan keributan.

"Kenapa diem? Tadi debatnya seru banget tuh kayaknya," sindir Nalesha kemudian. Semua orang terdiam. "Lanjutin aja, biar yang lain capek dengerinnya," lanjutnya kemudian makan. Dingin dan datar Ia melirik Jerry dan Manty yang terdiam menunduk. Sadar kalau sudah membuat debat kusir pagi pagi.

Marisa menyenggol siku Iqbaal disebelahnya, "Bang," ujarnya, menggerakkan kepala sedikit sebagai kode.

Iqbaal lantas menghela nafasnya dalam, "Manty, Jerry ... Gue saranin kalian tukar budaya deh. Gue pernah loh Jer baca primbonnya Manty. Menarik asli, Lo juga Man, coba bandingin deh relevansinya gimana."

"Kita tuh gini ..." Iqbaal mulai mengeluarkan gesturnya, "Harus mencari equilibrium, keseimbangan. Jadi gak ekstrem kanan, ekstrem kiri. Terima banyak banyak sudut pandang, terus tentukan deh mana yang paling pas dengan Kita tanpa menghakimi yang lain. Iya gak sih?" tanyanya pada yang lain.

Saheera menjadi orang pertama yang mengangguk, "Setuju sama Bang Iqbaal. Open minded. Inget banget Bunda Adri sering ngasih wejangan begitu ke Kita."

"Bener tuh."

Manty dan Jerry hanya terdiam mendengar nasihat dari Iqbaal yang memang terkenal paling bijaksana, bahkan melampaui Nalesha, Presiden mereka.

Atmosfer ruang makan kembali normal, makan yang tertunda mulai dilanjutkan. Nalesha di posisi paling ujung hanya geleng geleng kepala, "Anyway Guys, Saya dikabarin katanya Ayah sama Bunda bakal dateng malam ini. Ngajakin Kita party Natal dan Tahun Baru katanya," ujarnya.

"Whoaahhh!" Semua orang antusias.

"Jam berapa Lesh?"

"Jam tujuh. Siapin taman belakang katanya."

"Oke siaaapp!"