Chereads / The Enchanter (Black Pearl) / Chapter 10 - PENGHUNI KUBUS PANDORA

Chapter 10 - PENGHUNI KUBUS PANDORA

Bom!

"Kuat sekali serangannya apa kau bercanda?!"

"Sejak kapan petualangan ini menjadi komedi? Tentu saja tidak!" jawab Black Pearl.

Serangan ular tiada henti menghujani tubuh kering tak berdaging ini. cecaran putih bak deraan cambuk kian menguat, celah mulai tertutup, dan harapan mulai redup.

Takku sangka kekuatannya melebihi apa yang aku dan Black Pearl kira. Ular kecil yang bertebaran di langit gua bukanlah anak dari sang ular melainkan serpihan sihir yang ia gunakan untuk mengawasi area kekuasaannya.

Buk!

"Hera!"

Aku terpental.

"Sakitnya ...! sepertinya rusukku patah!" keluhku dalam hati.

Cambukkan ekor ular mendarat tepat di rusuk kanan dan mematahkan ruas ke tiga dari rusukku, karena rasa terkejut aku tidak terlalu memedulikan nyeri dalam dadaku.

"Apa kau bisa bergerak?" tanya Black Pearl.

"Kau pikir?! Apa kau tidak memiliki cara lain untuk mengalahkannya? Seperti pedang pemusnah atau sejenisnya?"

Aku mulai beringsut melihat ular putih itu yang mendekat luntang-lantung dengan wajah pongah yang ia tunjukkan sebagai diskriminasi mental padaku.

"Hmm, apa aku salah duga tentang aura hitam yang menyelimutimu ini? Haaa~ takku sangka dirimu selemah ini penyihir," jajatnya dengan berbisik ringan pada telingaku.

Dia mulai terkekeh dan berleha-leha menyerangku.

"Aku punya ide?"

"Apa?" tanya Black Pearl.

"Lihat saja!" jawabku.

"Hei ular botak! Kau kira dengan ini urusan kita selesai?" Aku hanya dapat berharap cibiranku padanya membuatnya terusik.

"Apa maksudmu? Lihat dirimu!" jawabnya berusaha menahan marah.

"Dan lihat dirimu! Dengan musuh yang memiliki ukuran 10 kali lebih kecil dari ukuran tubuh bongsormu itu, kau tidak dapat mengalahkannya. Hah! Penguasa?! Hahaha jangan membuatku tertawa."

Akhirnya dia terpancing. Matanya merah meyala, mulutnya menganga lebar, dan tentu saja dia melahapku.

Gelap, sempit, panas. Bagai di rebus dalam kuali berukuran super yang semakin lama semakin sempit. Lendir dalam tubuhnya membuatku terus masuk semakin dalam, entah di mana aku sekarang? Yang pasti aku berada di dalam tubuh sang ular.

Serrr!

"Apa yang kau lakukan?" tanya Black Pearl.

"Membuat garis sihir agar tidak tersesat," jawabku polos.

"Eee ... kau pikir kita sedang tersesat di dalam hutan?!" geram Black Pearl.

"Diamlah! Sedikit lagi!"

Tangan dan kakiku bagai di telikung oleh gumpalan daging panas dan napasku mulai tersengal-sengal.

"Sudah!"

Aku mulai menyerap sihir dari sang ular dan mengaktifkan jejak sihir yang telahku tinggalkan sejak masuk ke dalam perutnya.

Lendir mulai meleleh, daging mulai mencair bagai lilin, dan tulang-tulang mulai menampakkan putihnya. Seketika hawa panas dalam tubuhku lepas saat melihat secerca cahaya dari balik tumpukan daging hidup ini.

"Graaaaa!"

Erangan ular itu membuat dinding-dinding batu bergetar dan menjatuhkan ular-ular kecil dari langit gua. Ini adalah hal yang mustahil! Setiap ular yang jatuh langsung menyambar tubuh sang ular untuk meregenerasi tubuhnya yang telah koyak oleh sihirku.

"Owh! Tidak! Hera kita harus akhiri ini segera!" pekik Black Pearl.

Aku memaksa tungkaiku berlari ke arah kepala ular bersamaan dengan para ular kecil. Rasa berat di kakiku seakan membuat pergerakanku melambat.

Saat aku hampir menggapainya mata ular itu terbuka dan langsung membuka pintu kematian keduaku dengan taring panjangnya.

"Tidak untuk kedua kalinya!"

Elakkanku berhasil dan hanya membuat taringnya sedikit merobek kulit pahaku. Saat terjatuh aku langsung menangkap lidahnya dan menghancurkannya.

Erangannya menggelegar.

"Hera, mata!"

Tanpa pikir panjang aku melompat dan langsung menyibak matanya.

"MATI ...!"

Jelaga sihir mulai berkumpul di tangan kananku hingga berbentuk tangan tajam Jervin raksasa dan langsung menyambar matanya.

Seranganku tiada henti, sekonyong-konyong kenangan pedih yang pernahku rasakan muncul kembali bersamaan dengan pukulanku.

"Haaa!"

Entah berapa lama aku terus memukul mata ular tersebut.

"Hera! Cukup!" teriakan Black Pearl menghentikan tanganku.

"Bukalah matamu!"

Gendang telingaku berdengung kuat dengan pikiran yang masih kalut. Pandanganku sedikit kabur dan aku tidak merasakan tangan kananku lagi.

saat aku lenggakkan kepalaku.

"Hah?" Setengah kepala ular itu telah hancur lebur di sertai bangkai ular kecil yang memenuhi tanah gua. Cahaya putih yang menyinari langit-langit pun telah sirna.

Aku tidak mengerti dan tak dapat berpikir tentang keadaan yang aku rasakan ini.

"Apa kau sudah tenang?" tanya Black Pearl.

Aku mengangguk.

"Haaah!" teriakku terperanjat.

"Apa?" tukas Black Pearl.

"Ke— kenapa tanganku men—menjadi seperti ini?"

"Selamat, kau telah mengusai sebagian dari sihirku yang bernama 'Emperor Body'. Walau hanya tangan lambat laun kau akan mengusainya," jawab Black Pearl dengan santainya.

"Jadi?"

"Hmm?"

"Bagaimana cara mengembalikan tanganku ini?"

"Hmm, entahlah," jawabnya dengan malas.

"Sudahku duga," Pikirku.

Walau tenaga sudah habis, aku tidak rela merebahkan tubuhku di atas bangkai ular yang berserakan tepat di bawah tungkaiku ini.

Kemudian aku menyerap sisa energi sihir sang ular yang ternyata membuat seluruh energi sihirku kembali penuh dengan kapasitas yang lebih besar.

"Hmm, ini menarik."

Jelaga sihir hijau yang pertama kali kami ikuti mulai menampakkan serpihannya.

"Lihat itu!" ucap Black Pearl.

"Kita harus bergegas!" Dengan terseok-seok aku melangkahkan kakiku yang lemas.

Sebuah pintu kayu besar tanpa gagang mulai mengeluarkan jelaga hijau. Dengan tenang aku menempelkan telapak tanganku dan menghancurkan pintu tersebut.

Buzz!

Tanpa memperhitungkan apa yang akan terjadi sebuah ledakan muncul dari balik pintu tersebut. Tubuhku tidak dapat menahan ledakan sihir. tubuh keringku terpental cukup jauh hingga membuat kaki kananku patah.

"Aaakh!"

"Hera!"

Panas, perih, dan sakit. Hanya itu yang dapat aku rasakan. Namun aku bersikeras untuk mendekati kumpulan sihir hijau yang menutupi sebuah kubus kaca di hadapanku.

"Aku ... tidak akan menyerah ...!"

Walaupun pergerakanku berat akhirnya aku dapat menggapai kubus tersebut. sensasi panas dari rasa sakit di kakiku membuat perutku mual.

"Lavanya!" teriak Black Pearl saat melihat kubus hijau tersebut.

"Hera dia adalah saudariku! Lavanya! Apa kau mendengarku?" teriakan Black Pearl memenuhi gendang telingaku.

Pandanganku mulai kabur karena rasa sakit yang terus merongrong kesadaranku. Saat aku berusaha menghancurkan kubus tersebut kesadaranku hilang.

***

Dalam mimpiku terdapat sebuah rumah yang di penuhi dengan prajurit yang terluka. Api yang bergejolak di luar rumah menerangi gelapnya bayangan malam di setiap sudut rumah.

Jeritan dan rintihan terus menggema dalam sempitnya rumah tersebut. belum selesai dengan apa yang terjadi di sana aku di lempar ke sebuah mimpi lain yang menunjukkan padang rumput.

Sejuk dan tenang yang hanya dapat aku simpulkan dengan kata.

"Di mana ini?"

Kemudian aku terlempar kembali ke dalam kekacauan dan mimpi ini terus bertalu-talu tanpa henti. Tenang, kacau, damai, mencekam silih berganti.

Seakan akan kepalaku akan pecah dengan mimpi tersebut.

"Cukup!" Hardikku dengan kuat.

Sebuah akar merambat dan melilit tungkaiku. Tiba-tiba sebuah pohon besar rindang muncul di hadapanku.

"Pohon apa ini?" Tanyaku bermonolog.

Sebuah celah mulai terbuka dari tengah pohon tersebut cahaya hijau mengitari pohon itu hingga menyipitkan mata. Barulah sesosok wanita cantik dengan tubuh yang di hiasi kuarsa indah dengan tangan yang terbuat dari Hawthorn mengingatkanku dengan Jervin muncul dari balik celah pohon.

"Siapa kau?"