Chapter 3 - Kekosongan

Perjalanan Tasia dan kawan-kawannya nyaris memakan waktu selama dua hari. Bukan karena macet, tapi karena mereka terkadang memilih singgah di beberapa tempat rekreasi di sepanjang jalan yang mereka lewati.

Hingga sore itu, akhirnya mereka sampai di pantai tujuan mereka.

"Ah! Akhirnya sampai juga!" Teriak Marya ketika ia keluar dari pintu mobil dengan melemaskan otot pinggang dan sendi-sendinya yang sudah berdecit.

"Tidur! Kasur! Aku butuh tidur di atas kasur!" Seru Tasia dengan mata mengantuk yang terlihat sangat sulit terbuka.

"Ayo kita keluarkan dulu semua barang-barang dan bawa masuk ke dalam resort." Perintah Tata dan langsung dilaksanakan oleh Patra, Jordi, dan Mark tanpa mengeluh apalagi pamrih.

Langsung bergerak setelah Tata memerintah sudah tertanam di dalam naluri mereka.

Tata berjalan paling depan bersama Jordi di sampingnya, menyusuri jalan setapak yang terbuat dari bebatuan yang tersusun rapih dengan tanaman hias berjejer di kedua sisi yang membuat resort itu terlihat asri. Sedangkan, teman-teman yang lain mengekori mereka sambil bercanda-canda.

Para remaja itu memasuki sebuah bangunan bernuansa tradisional khas Jawa dengan banyak ukiran di dinding kayunya. Di dalam sana, terdapat meja panjang dengan dua orang wanita muda berdiri di baliknya. Mereka berpakaian batik dan merupakan resepsionis resort tersebut.

"Selamat datang di Resort Kencana Indah Suwangi. Ada yang bisa kami bantu?" Sapa salah satu resepsionis itu dengan ramah.

"Kamu mau check-in, Mbak. Saya sudah booking secara online, atas nama Riata Anjasani." Jelas Tata dengan menunjukkan apa yang tertera di layar ponselnya kepada sang resepsionis.

"Baik, Bu. Kami sudah memeriksanya dan pendaftarannya sudah benar. Ini kunci untuk dua kamarnya di nomor 12 dan 11. Terima kasih dan selamat beristirahat." Tutur resepsionis itu dengan memberikan dua anak kunci dengan gantungan potongan batok kelapa pipih yang memiliki ukiran nomor kamar masing-masing.

"Baik. Trimaksih," Ucap Tata.

"Kembali," Sahut sang resepsionis.

Kemudian, Tata memberikan kunci kamar nomor 12 kepada Jordi. Sedangkan kamar nomor 11 ia simpan sendiri untuk kamar para gadis.

Tata sungguh mahir mencari penginapan. Kali ini, resort yang mereka tempati bukanlah seperti resort biasa. Setiap kamar menghadap langsung pada hamparan pasir pantai dengan laut yang luas. Bahkan suara desiran ombak dapat terdengar di dalam kamar jika kondisi kamar sepi.

Benar, pemilik resort itu sudah membeli beberapa hektar kawasan pantai termasuk bibir pantai itu. Sehingga, ia dapat membangun tiap kamar bagai rumah pondokan di tepi pantai.

Jalur menuju kamar masing-masing dibuat dari susunan bambu yang membentuk jalan setapak. Tiap kamar dipisahkan sejarak tiga meter. Kamar-kamar tersebut dibangun layaknya rumah panggung kayu.

"Uwa! Bagus sekali resortnya, Ta!" Ujar Tasia kagum dengan mata berbinar-binar.

"Ya begitulah," Sahut Tata.

"Kau memang Mami paling hebat!" Ujar Patra dengan berniat memeluknya.

"Hei! Jangan berani mencari-cari kesempatan kau!" Omel Mark dengan menarik kerah belakang kaus Patra.

"Melar, Mark! Melar!" Seru Patra dengan berusaha menyingkirkan tangan kekar Mark dari kaos abu-abu kesayangannya.

"Haha! Kau tidak tau kredit bajunya masih belum lunas?" Tawa Marya.

"Jangan begitu, Marya. Jangan mengumbar-umbah bahwa ia banyak hutang," Tambah Tasia dengan kekehan.

"Selama masih tampan, itu semua bukan masalah." Patra melipat lengannya di depan dada sambil bersandar di daun pintu meniru pose model majalah satwa.

"Sudahlah.." Keluh Jordi. "Itu kamar kita. Sebaiknya kita masuk sekarang. Aku sudah kelelahan menyetir seharian." Lanjutnya dengan menatap Mark sinis.

Mark tersenyum canggung. "Maaf, Jor. Pulang nanti, aku yang menyetir sampai rumah. Aku berjanji."

"Ya, terserah!" Sahut Jordi sambil berlalu ke dalam kamar.

Kemudian yang lainnya juga masuk ke kamar masing-masing.

***

Penjaga pintu kerajaan meneriakkan kedatangan pangeran Rangin. Suaranya lantang dengan kekuatan goib hingga terdengar merata ke seluruh penjuru istana.

Hadyan segera keluar dari kamarnya untuk menemui saudara kandungnya itu. Ia memang paling dekat dengan Pangeran Rangin yang menguasai kerajaan Pantai Papuma.

"Selamat datang saudaraku, Pangeran Rangin!" Sapa Hadyan dengan memeluk hangat saudaranya itu.

"Aku sangat merindukanmu, Hadyan! Kau jarang sekali berkumpul bersama kami sehingga harus aku yang selalu datang kemari." Keluh Rangin.

Hadyan sudah terbiasa atas omelan kakaknya mengenai dirinya yang selalu sibuk.

"Ya, aku tau dan aku minta maaf. Tapi Dewi Lanjar jarang sekali berada di kerajaan ini, sehingga aku harus mengawasi kerajaan."

"Aku yakin kau pasti kesepian," Canda Rangin yang menurut Hadyan sangat tidak nyambung dengan topik pembicaraan mereka.

"Banyak pengawal di sini yang bisa aku ajak bicara, Rangin." Jawab Hadyan sinis. Padahal, sekali pun ia tidak bernah ngobrol dengan mereka.

Rangin terkekeh melihat wajah saudaranya yang nampak kesal. "Setidaknya carilah sosok perempuan cantik agar kau tidak hanya berbincang pada jin-jin istana."

"Aku akan melakukannya! Tapi hanya belum menemukan yang tepat." Ketus Hadyan dengan menghempas tubuhnya untuk duduk di atas sofa berukir naga.

"Apa yang kau cari, Hadyan? Para putri itu sudah berjejer menunggu satu jarimu menunjuk salah satu di antara mereka. Kau hanya menyusahkan dirimu sendiri."

"Mereka semua sama saja. Aku hanya tidak menyukai mereka," Sahut Hadyan dengan kepala pening. Lagi-lagi kakaknya menanyakan perihal masalah ini.

"Satahuku, hanya manusia yang mampu menyukai sesama jenis." Guamam Rangin.

Lantas Hadyan memelototinya hingga Rangin tertawa bebas. "Aku hanya bercanda."

"Sudahlah. Menanggapimu hanya akan membuatku semakin kesal!" Desis Hadyan. "Besok, aku akan melihat keadaan pantai. Kaesno berkata bahwa manusia mendirikan bangunan lagi di sana."

"Ya, lama-kelamaan mereka akan mendirikan bangunan mereka di atas laut ini. Terkadang kita harus bertindak tegas agar mereka tahu batas." Rangin menggidik bahu.

"Kau benar. Mereka harus menyadari siapa yang benar-benar berkuasa disini." Angguk Hadyan.

Kedatangan Rangin sangat manjur untum membuat Hadyan senang. Sesungguhnya, ia benar-benar kesepian seperti apa yang selalu Rangin katakan. Namun, ia selalu mengelak karena ia sendiri yang kerap menutup diri.

Perihal Dewi Lanjar yang jarang datang sehingga Hadyan harus mengawasi kerajaan dan membuatnya jarang bertemu dengan keluarganya juga hanyalah sebuah alasan saja.

Hadyan memiliki rupa yang menawan. Rambut panjangnya yang halus dan lurus selalu diikat. Tubuhnya kekar dan tegap semakin gagah ketika dibalut oleh baju perang berlapis emas. Ia juga adalah ular terkuat di lautan Jawa timur. Bahkan, ia adalah anak asuh dari dewi Lanjar yang dihormati kerajaan-kerajaan lain.

Memang benar bahwa banyak putri-putri yang mengincarnya. Namun Hadyan tidak menyukai mereka. Ia bosan terhadap sifat dan tingkah laku putri kerajaan yang semuanya terlihat sama.

Mereka sopan santun, pendiam, penurut, lembut, dan selalu tersenyum. Jika di dunia manusia, mungkin mereka sudah disamakan dengan robot.

Karena itu, hati Hadyan selalu tertutup meski ia memang kesepian.

"Haruskah kau pergi secepat ini? Rasanya kau baru sampai kemarin." Tanya Hadyan.

"Permaisuriku menyuruhku pulang, Hadyan. Ia berkata ada sesuatu yang penting mengenai istana. Aku tidak bisa menolaknya. Maaf jika ini terlalu mendadak." Jelas Rangin sambil mengenakan baju kerajaannya dengan dibantu pelayan.

"Baiklah. Aku akan mengantarmu ke perbatasan dengan kapal. Aku juga ingin merasakan udara malam di atas," Tutur Hadyan.

Rangin tersenyum miris. "Maaf, Saudaraku. Kita sudah memiliki tugas masing-masing karena kita bukan anak-anak lagi."

Hanya di depan pangeran Rangin, Hadyan yang terkenal menakutkan, dapat memperlihatkan sisi anak-anaknya. Karena pada dasarnya, ia adalah seorang adik.

"Ya, aku tahu." Jawab Hadyan dengan bangkit berdiri dari kursinya setelah melihat Rangin yang sudah selesai berkemas.

Lalu mereka melangkah naik ke atas kapal laut besar milik Hadyan. Kemudian, kapal itu segera melaju dari dasar laut, membelah air, dan naik ke atas permukaan air laut untuk menyapa langit malam gelap.

Kapal berlayar di laut yang berombak tenang. Malam itu begitu muram. Bintang-bintang di langit bersembunyi karena takut pada kemuraman hati sang Pangeran Hadyan. Hanya bulan purnama yang berani memancarkan sinarnya.

Akhirnya, mereka sampai di perbatasan. Di sana, pangeran Rangin turun dari kapal.

"Kau yakin akan turun sendiri? Aku bisa mengantarmu sampai istana," Tanya Hadyan.

"Jangan meremehkanku, Hadyan. aku bukan anak kecil. Aku sudah berumur 600 tahun." Tawa Rangin. Ia tahu bahwa saudaranya itu bukan ingin mengantar dirinya. Ia hanya kesepian dan ingin mengisi waktu.

Lalu Rangin mengubah wujud tubuhnya menjadi seekor ular bersisik coklat raksasa dari pinggang ke bawah.

Ia melesat ke dalam laut, sedangkan Hadyan memperhatikannya dari pinggir kapal. Lalu Rangin keluar lagi dari dalam air dan tubuhnya tegap untuk menyamai tinggi kapal hingga ia bertatap muka dengan Hadyan.

"Carilah pendamping, Hadyan. Kau sudah terlalu kesepian. Jangan selalu mengharapkan perang untuk menghapus rasa jenuhmu itu. Aku pulang dulu, jaga dirimu." Ucap Rangin dengan mengacak rambut adiknya.

Hadyan tidak menjawab, bahkan ia tidak memperbaiki rambutnya yang sudah berantakan. Ia hanya berdiri saja di pinggir kapal itu dengan memandangi lautan yang terlalu tenang.

Kapal berlayar kembali ke laut Pantai Slamaran. Namun kedua mata tajam Hadyan menangkap sosok gadis tengah berjalan sendirian di tepi pantai.

Hadyan merasa heran. Ketika hatinya murung, langit di sekitaran pantai akan meredup hingga awan menutupi bintang-bintang. Ia tahu jika hal tersebut membuat masyarakat takut dan mengira ia akan menarik korban jika ada yang berani bermain di pantai ketika langit sedang redup seperti sekarang.

Namun gadis itu nampaknya bernyali besar. Ia bermain di pantai yang jelas-jelas kosong tanpa satu manusia pun.

"Kalian kembali'lah ke istana. Aku akan ke pantai sendiri." Seru Hadyan pada awak kapal.

"Baik, Pangeran!" Jawab mereka.

Lalu Hadyan merubah wujudnya menjadi sesosok ular hitam besar dan melesat keluar dari kapal.

Ia berenang di dalam laut menuju bibir pantai dan bersembunyi di balik batu karang untuk memata-matai gadis itu.

Dalam hatinya, Hadyan bertanya-tanya sebenarnya apa yang dirinya sedang lakukan. Tapi ia sendiri tidak dapat melawan rasa penasaran yang tiba-tiba mengambil alih tubuhnya.

"Mungkin ia pengunjung," Gumamnya sendiri.

Gadis itu berjalan dengan mulut termanyun dan kaki yang sesekali menendangi pasir.

Hadyan tersenyum geli melihatnya. "Mungkin ia akan tahu larangan bermain di pantai setelah ini." Pikirnya dengan berniat mengerjai gadis itu.

Lalu Hadyan berenang lebih dekat ke bibir pantai dan merubah wujudnya menjadi seorang anak kecil imut berbaju hitam.