Chereads / School of Persona / Chapter 20 - Dhaiva, Scarf, Taken, dan Es Krim

Chapter 20 - Dhaiva, Scarf, Taken, dan Es Krim

Jerry mengerutkan dahinya heran begitu sampai di dapur untuk mengambil air minum. Dirinya hanya heran dengan pemandangan di meja makan tempatnya biasa membaca buku itu; Dhaiva, memakai sesuatu di kepalanya yang menurut Jerry adalah hijab. Maka cepat cepat Ia menuangkan air, penasaran saja ingin mengobrol dengan Dhaiva yang tampak cepat sekali bertransformasi usai mentoring akbar tadi malam.

"Va?" panggilnya kemudian, duduk berhadapan dengan gadis itu.

Dhaiva buru buru melepas earpodsnya, "Iya kenapa Prof? Lagi ngapain disini?" Ia balik bertanya.

Jerry hanya menggeleng, "Minum aja, terus liat Lo disini. Tumben Lo penampilan beda gitu Va," ujarnya membuka topik sasaran.

Dhaiva memeriksa pakaiannya, termasuk fashion item yang disebut Jerry sebagai hijab, "Apa yang aneh? Gue make scarf gini?" tunjuknya pada kain tipis berwarna coklat muda itu.

"Iya, beda Lo. Itu namanya hijab kan? Jilbab?"

"Bukan Prof, inimah ... ya scarf, selendang aja sebenernya, terus Gue lilitin ke kepala soalnya dingin kan abis ujan tadi," jelas Dhaiva, sedikit menunjuk keluar jendela. Memang, Bogor lagi lagi diguyur hujan menjelang Natal dan Tahun Baru.

Jerry hanya ber-oh ria, "Kirain Lo langsung ... affected by kajian tadi malam gitu, hehe," tawanya canggung. Namun yang tidak Jerry sadari adalah fakta bahwa Dhaiva ikut merasa canggung atas pertanyaannya, "Gak sih Prof ..."

Jerry melipat tangannya di depan dada, "Va, menurut Lo gimana soal hijab berhijab? Apakah itu benar benar represent ... sebuah perbedaan antarkalian Muslimah?" tanyanya membuka topik diskusi agak berat.

Dhaiva tampak berpikir, "Gue bingung sih Prof, sebenernya tuh gimana. Tapi disatu sisi, Gue tau berjilbab itu wajib," jawabnya.

"Hm, lalu dengan tidak tunainya kewajiban, Lo bersalah gitu?" tebak Jerry.

Dhaiva mengangguk perlahan, "Hm, lowkey? Tapi gimana ya Prof, Gue merasa kayak ... masih ada cara untuk beramal dan beragama, dan Gue belum siap buat berhijab gitu."

"Oh, iya sih Gue tau. Apa yang membuat Lo belum siap berhijab Va? Apa itu gak nyaman buat Lo? Atau ada sesuatu yang hilang kalau Lo ... menutup kepala dan rambut Lo total?"

"Would be yang kedua sih Prof. Lo tau kan Gue walaupun newbie juga seorang penyanyi, dan sometimes Gue juga ambil job sebagai model."

"What!" pekik Jerry, "Are you a model Dhaiva? How can you didn't tell me at all?" lanjutnya tak percaya. Entah dirinya yang kurang update atau memang Dhaiva perdana memberitahu seseorang di asrama soal pekerjaan tak terduganya itu.

"Iyaa, kok gak percaya sih?"

"Gak kok, percaya kok percaya. Lo cantik kok, Gue akui secara objektif." Jerry mengacungkan dua jempolnya tanda pujian.

Dhaiva memukul lengan Jerry pelan, "Malu ih! Lo ngomongin orang cantik kayak maparin kesimpulan karya ilmiah. Senyum kek ngomongnya, datar bener Lo," protesnya akan sikap kaku Jerry.

"Ntar Gue senyumin ada yang cemburu Va, bahaya."

"Lah siapa?"

"Leon."

"Wahhsss! Gila gila gila!" heboh Dhaiva, sementara Jerry hanya tertawa cengengesan sembari membuka game di iPad Dhaiva, "Jadi beneran? Taken Lo berdua? Parah Lo pacaran di asrama."

"Bercanda elah, seru juga kan di roasting roasting gitu. Sekalian aja dibakar. Asik gak tuh?" ujar Jerry percaya diri.

Dhaiva hanya geleng-geleng kepala, "Gak boleh memainkan perasaan wanita, Prof Jerry. Kalau Leon kebawa perasaan gimana? Ribet deh," ujarnya memberi nasihat.

"Justru karena Gue yakin Leon gak baperan, Gue lanjutin aja keseruan ini Va. Santai lah, Leon mana bisa suka sama Gue," ujarnya.

"Ya siapa tau? Emang pernah nanya?"

"Nanya apa?"

"Ya nanya Leon."

Jerry mengerutkan dahinya, "Lo mau Gue nanya dia like literally ... 'Yon, Lo suka gak sih sama Gue' gitu? Gila aja Va, tengsin lah!"

"Nah ini ..." Dhaiva menunjuk nunjuk Jerry, "Udah lah, jangan ngebaperin orang Prof, mending lanjutin proyek Kita ini udah sampai mana?"

Jerry memetik jarinya antusias, "Ini dia, udah sampai tahap ngehubungin partner kok, tenang aja. Bentar lagi Kita mulai."

"Asik asik, gak sabar Gue."

"Eh ngomong ngomong kalau jalan projectnya job nyanyi sama modelling Lo giman ..."

"Hah siapa yang jadi model? Dhaiva?" potong seseorang tiba tiba. Menoleh, rupanya Nalesha. Selalu ghaib pria itu datangnya, entah kapan dan dari mana. "Siapa yang modelling?"

Dhaiva menghela nafasnya dalam. Kalau sudah Nalesha tau, tidak akan bisa jadi rahasia, pasti semua akan tau pada akhirnya, "Iya Gue Lesh, udah diem deh, jangan heboh."

"Ya Kamu yang heboh kali. Saya mah biasa aja. Tapi keren juga Kamu Va, cocok jadi brand ambassador HSL," candanya, baru saja kembali dari kulkas mengambil es krim.

"Lesh mau es kriiim!" rengek Dhaiva kemudian.

"Gue juga mau dongg!" Jerry sudah bergerak duluan mengambil dua sendok kecil untuknya dan Dhaiva. Nalesha sudah siap siap saja, es krim dalam ember kecilnya itu pasti tidak lepas dari mata mata para pemburunya.

Tapi tenang saja, Nalesha itu dermawan soal makanan meski tidak sesering Noer. Baginya, makan bersama di asrama itu asik dibanding makan sendiri di kamar.

"Ih enaaaak! Mau beli yang ini ah nanti pulang nyanyi," ujar Dhaiva kesenangan, bahkan menggerak gerakkan bahunya sendiri. Kebiasaan.

"Yee das ..."

BUKK!

Ucapan Nalesha terpotong, atensi tiga orang itu terpotong karena Saheera yang tiba tiba menaruh buku dan iPadnya keras keras ke meja makan, cukup jauh berseberangan dengan mereka di meja makan superpanjang itu.

Tak melirik apalagi menyapa, wajah Saheera ditekuk cemberut. Pasti ada yang tidak beres. "Kenapa deh?" tanya Dhaiva pada Jerry dan Nalesha.

Jerry mengedikkan bahunya tak mengerti, sementara Nalesha sepertinya tahu, "Pasti yang kemaren," ujarnya tanpa penjelasan, beranjak dari kursi membawa es krimnya, menghampiri Saheera. Tak lupa satu sendok yang masih bersih dibawanya dari pantry. Jerry dan Dhaiva hanya memperhatikan dari jauh.

"Cie badmood," ledek Nalesha sesampainya di hadapan Saheera. "Makan nih biar gak kekurangan gula," lanjutnya, memberikan sendok tadi.

Saheera menggeleng, belum melihat Nalesha sejak tadi, "Gak mau," ujarnya.

Nalesha mengamati wajah gadis didepannya itu seksama sampai mundur mundur ke sandaran kursi, "Oh nangis," ujarnya dalam hati.

"Udah jangan dipikirin, coba diikhlasin aja Ra. Pasti kesempatan lain ada kok," ujarnya memotivasi. Sudah dipastikan ini adalah prahara beasiswa exchange yang gagal dinegosiasi dengan orangtuanya yang konservatif itu.

"Kesempatan lain kapan? Sama aja, gak akan dibolehin," bantah Saheera, menulis di iPadnya dengan wajah memerah mata nyaris menangis. Duh, kasihan sekali pikir Nalesha.

"Yaudah deh, Saya paham Kamu lagi sedih. Mending healing makan es krim, masih banyak loh. Kamu suka kan?" godanya, menyodorkan es krim itu ke tengah tengah mereka.

Lama lama Saheera tergoda juga, "Mau?"

"Ya silakan, dari tadi ditawarin. Biar Kamu gak sedih sedih."

Saheera manggut, mengusap matanya yang agak basah itu, "Makasih," ujarnya, mengambil satu suapan es krim, membuat Nalesha tersenyum akhirnya, "Abisin aja, Saya bisa beli lagi nanti."