Chapter 2 - DRUID

Setelah satu minggu kedatangan makhluk kecil, hitam, bermata kuning, bulat berbulu, dan tinggal di rumahku dengan seenaknya. Aku mulai terbiasa dengannya.

Tok tok tok!

"Hera bangun sudah pagi!" panggil Nenek di depan pintu.

Aku terduduk lemas dengan sukma yang belum menyatu dengan sempurna. Matahari tidak dapat menarikku dari dunia mimpi namun suara Nenek dapatku dengar sampai masuk ke dalam bunga tidurku.

"Emmm!" Lenguhanku di sertai geliatan tubuhku.

Rasanya nikmat sekali ingin aku hidup dalam momen yang nikmat ini.

Buf!

"Emm? Apa ini? teksturnya lembut dan kenyal? Jangan-jangan!"

Saatku angkat gumpalan hitam telinga panjang berada di kamarku.

"Poki!" Sapanya dengan tersenyum.

Aku membalas senyumnya dan langsung mengubahnya menjadi berang.

"Poki kepalamu!" pekikku padanya sembari melemparnya keluar rumah.

Saat mandi, makan, ke pasar, ke gunung, hingga tidur kembali dia selalu bersamaku.

"Haaa! Capeknya!" keluhku memutar mata.

"Poki!" makhluk itu memberikan sebotol air padaku yang tak tahu dari mana dia mendapatkannya.

karena dia hanya mengatakan satu kata dalam hidupnya, aku dan nenekku bersepakat memberinya nama Poki.

Hari ini aku pulang lebih cepat dari pasar membawa sekeranjang makanan untuk persediaan 3 hari ke depan. Saat aku masuk suara keriut pintu belakang terdengar keras.

Poki mendahului langkahku untuk memeriksa lokasi ke jadian. Saat aku berlari menyusulnya seseorang memegang daun pintu dan hendak keluar.

"Nenek? Mau ke mana kau?" tanyaku sembari meletakkan keranjang.

Nenek hanya tersenyum bersalah padaku. " Aku hanya ingin menghadiri acara yang di adakan oleh salah satu Duke Hokers di kediaman bangsawan," sahutnya.

"Aku akan menemanimu nek!" pintaku dengan sedikit memaksa. Namun mimik wajahnya seakan tidak ingin aku bersamanya karena suat alasan.

"Apakah acara ini menyangkut kejadian satu minggu yang lalu?" tanyaku mendesak padanya.

Nenek hanya diam agar aku tidak memikirkan kejadian sebelumnya walaupun aku sangat mengingat kejadian yang meresahkan hati. Pikiranku hanya tersudut pada pria berambut putih yang telah melukai Nenek.

"Aku sangat membencinya," pikirku.

Nenek pergi di jemput dengan kereta kuda bangsawan hingga keberadaannya terlipur dengan kabut. Untuk pertama kalinya di meninggalkanku seorang diri di rumah batu berkayu ini.

Wajah senduku tak dapatku tahan "apa Nenek membenciku?" Pertanyaan samar terbesit dalam benakku. Poki datang dan terus mendesakku untuk memperhatikannya.

"Apa yang kau inginkan?" pekikku padanya.

Poki hanya terdiam dan terus mendorong kakiku sampai akhirnya aku menurutinya. Aku di giring kembali menaiki gunung menuju hutan Druid, dia membawaku tepat di lokasi pertama kali kita bertemu.

"Ini kan?" aku membatin.

Pikiranku masih sarat dengan kejadian tadi namun saat Poki berdiri di depanku di menyuruhku untuk memegangnya dengan menggigit tanganku ke arahnya.

"Iya, iya!" Sungutku padanya.

Saat bulu halus memenuhi seluruh tanganku sebuah benda samar terlihat di sekitarku, jika di lihat dengan mata telanjang benda itu adalah jelaga yang beterbangan.

Namun saat aku menutup mata aku dapat melihat dengan jelas lokasi di sekitarku tanpa harus menyalangkan mata. Sebuah keanehan yang belum aku rasakan. Tiba-tiba aku melihat seseorang datang dengan perawakan cantik di balut kain putih nan halus.

"Siapa dia?" Saat aku ingin membuka mata.

"Jangan!" cicitan kecil terdengar di gendang telingaku yang menahanku untuk mengangkat kelopak mataku.

Dia seorang wanita matanya hijau, rambutnya pun hijau, tubuhnya menyerupai manusia namun setengah tangan dan kakinya terbuat dari kayu Hawthorn persis dengan tongkat sihir yang di pakai oleh para Mage.

"Apa kau bisa melihatku?" Suara halus bagaikan desiran angin memenuhi kepalaku.

Aku mengangguk. Wajah bingungnya menjadi segar dan melompat kegirangan.

"Perkenalkan, namaku Jervinwood, kau bisa memanggilku Jervin. Ahh! Sudah cukup lama aku kesepian, tak satu pun dari pengunjung yang dapat melihatku sungguh menyedihkan!" rutuknya.

"Apa aku boleh berbicara sekarang?" aku membatin.

"Tentu saja!" jawaban Jervin membuatku terkesiap dan hampir saja terperangah ke belakang.

"Oh maaf! Apa aku membuatmu takut?" tanyanya yang mulai beringsut dengan wajah ketakutan.

"Tu—tunggu! Aku hanya terkejut saat kau mendengar perkataan hatiku," panggilku.

Wanita hijau itu kembali dan duduk namun yang membuatku gelisah adalah jarak duduk antara aku dan di yang lumayan jauh.

"Kenapa kau tidak mendekat?" tanyaku dengan harap.

"Aku tidak ingin menakutimu!" jawabnya lirih.

Aku tersenyum padanya. "Tenang saja, kau tidak akan berpaling darimu lagi."

Mendengar jawabanku dia mulai memberanikan diri untuk memotong jarak antara kami. Dia tidak berjalan ke arahku melainkan bergeser di tanah hingga jaraknya dan diriku tidak lebih dari satu hasta.

Matanya yang hijau dan giginya yang runcing mungkin akan membuat orang yang melihatnya ketakutan. Aku tepis pikiran aneh dalam benakku dan mulai menggali tentangnya.

"Jadi apa rasmu?" tanyaku yang berusaha mengepai tangannya.

Dengan terkejut aku dapat merasakan tangan Hawthorn-nya yang keras.

"Aku adalah Druid!" jawabnya dengan menunjukkan gigi runcingnya.

Aku pun membalas ngeri senyumannya.

"Jadi siapa namamu?" tanya Jervin sembari membalikkan tangannya ke arahku.

Sret!

Hanya dengan menyentuh kukunya saja, kulitku terburai luka. Darah merah mulai mengalir di telapak tanganku. Jervin yang melihat darah di tanganku yang di akibatkan tangannya dia langsung ingin menarik tangannya dari genggamanku.

"Tenang saja," ucapku dengan tersenyum agar ketakutan tidak membuatnya panik.

Walaupun lukanya cukup dalam, aku tidak ingin kesempatan langkah ini berlalu begitu saja. air matanya mulai merebak namun yang membuatku terkejut adalah kuarsa yang keluar dari matanya.

Dia tidak mengeluarkan air ataupun cairan lainnya. "Jika seseorang menemukannya, dia akan menjadi sumber uang hanya dari air matanya tersebut."

Jervin hanya tak kuasa dengan darah yang memenuhi telapak tanganku. Hening. Desiran angin mulai mengitari tangan kami diiringi dedaunan hijau.

"Ada apa ini!" Seketika lukaku sembuh.

Sungguh terkesiapnya diriku melihat sihirnya yang begitu kuat yang dapat menyembuhkan luka sedalam ini. tanpa di sengaja mataku menyalang ke arahnya.

Namun anehnya dia tidak menghilang dari pandanganku.

"Apa kau masih dapat melihatku?" tanya Jervin yang melambaikan tangan di depan wajahku.

Poki membatu dengan menatapku serius.

Kesadaranku kembali. Kau masih dapat melihat Jervin yang duduk di hadapanku. Di setiap sela pohon terdapat selarik pelita yang memiliki berbagai macam warna.

Aku terkesima melihatnya karena ini kali pertama aku melihat pemandangan ini.

"Jervin, apa itu?!" jariku melayang ke arah pelita yang bergelombang.

"Apa kau dapat melihatnya?" tanya Jervin dengan memegang kuat telapak tanganku.

Aku terkejut bukan main hingga tubuhku ditelikung pikiranku. Tangan yang seharusnya terluka saat menyentuh Jervin kini tidak lagi merasakan tajamnya cakar wanita Druid itu.

"Rupanya kau yang terpilih!" perkataan itu membuatku membisu.

Poki melihatku dengan tatapan takut, dia memendam wajahnya di sela pahaku.

"Itu adalah serbuk jelaga sihir dan hanya sedikit orang yang dapat melihat dan mengendalikannya," jawab Jervin.

Kreek!

Suara samar terdengar di telingaku seolah aku mengetahui suara Nenek yang sudah datang. Aku menutup telingaku rapat-rapat.

"Ada apa?" tanya Jervin.

Pikiranku di penuhi bisikan suara hewan, manusia dan benda lainnya sehingga membuat pandanganku kabur dan pingsan.

"Ah! inikah sebuah akhir?!"

**To Be Continue**