Chereads / The Enchanter (Black Pearl) / Chapter 6 - SOSOK DI BALIK PERMATA HITAM

Chapter 6 - SOSOK DI BALIK PERMATA HITAM

Derapan kaki kuda meramaikan kereta kuda yang mencekam. Tatapan tajam terus menusuk padaku, jantungku bertalu-talu seiring jengitan kereta yang berjalan.

Sebuah jari menyembul dan menyentuh pundak keringku.

"Hah!" Cicitanku yang terperanjat membuat prajurit wanita di depanku ikut terperanjat.

"Bikin kaget saja," ujarnya tanpa rasa bersalah.

"Seharusnya aku yang mengatakan itu!" Aku membatin.

Wanita berdiri dan menukar tempat duduknya untuk mendekatiku. Kulit putihnya cukup bersih dengan rambut coklat yang indah terurai panjang hingga belikatnya. Dia tersenyum, namun diriku tidak dapat membalas senyuman itu.

Napas hangat berembus tepat di lubang telingaku.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" Bisik wanita berambut coklat.

Aku menggeliang-geliut membenarkan posisiku sembari melihat wajahnya.

"Tenanglah, aku tidak akan memberi tahu mereka." Wanita itu terus mendesakku hingga aku tidak memiliki pilihan lain selain menceritakan apa yang terjadi.

Kejadian demi kejadian aku terangkan namun semua itu hanya setengah dari kebenaran yang telah terjadi. Wanita itu terus memasang wajah bodohnya dengan mendengarkan saksama ceritaku.

Perasaanku tidak nyaman melihat para prajurit di sampingnya membuang wajah saat wanita ini menginterogasiku.

"Hmm, jadi begitu. Baiklah!" Kemudian dia kembali ke tempat duduknya.

"Ke mana kita akan pergi?" tanyaku ramah padanya.

Bergidik. Tubuhku mematung saat tatapan sedingin es menusuk irisku. Jangankan menjawab, ekspresinya saja sudah jauh berbeda saat dia ingin menggali informasi yang aku miliki.

Malam tiba. Tiba saatnya kami memasuki area bangsawan di Zavax tepatnya di kediaman para Hokers. Delman menghentikan kudanya dan membukakan pintu kami.

Betapa terkejutnya diriku di hadapkan dengan ruangan yang memiliki ukuran 20 kali lipat bahkan lebih dari pada rumah Nenek di pinggir lereng. Pilar putih dengan patung ular melilit di setiap sisinya terkesan megah dan elok di pandang.

"Masuk!" hardik wanita berambut coklat yang melipur kesenanganku.

"Dasar, wanita ular!" pekikku dalam hati.

Belikatku di dorong dengan kuat dan hampir terjatuh dan membentur undakan bangunan tersebut namun salah satu prajurit pria berkefta hitam menopangku dan menggamit tanganku untuk masuk bersamanya.

"Apa kau baik-baik saja?"

Aku hanya mengangguk dan mengikutinya dari belakang.

Saat pintu raksasa di depanku terbuka, pendaran cahaya mulai menyilaukan mataku. Tembok, lantai, dan atap mulai memantulkan kilauan emas yang terpampang megah di podium ujung ruangan.

Di dalam telah berdiri berbagai macam manusia yang di hiasi oleh perhiasan indah di tubuhnya dengan tatapan pongah dan menghina saat melihat tubuhku yang lusuh yang di selimuti debu ini.

Carut marut mereka terus mencecarku. "Terburuk, anak haram, monster, cucu dari wanita tua terkutuk!"

Cring!

Tanganku sudah tepat berada di depan wajahnya, tanpa sadar aku menggerakkan tubuhku dan hampir meremas wajahnya yang ketakutan.

"Apa yang kau lakukan!" Pria yang bersamaku segera menarik rantai tanganku dan maju mengulurkan tangan pada bangsawan tak tahu diri itu.

Saat wanita bangsawan itu terbangun dia memperingati para bangsawan tersebut. "Para hadirin, kami mohon untuk tidak memprovokasi tersangka dengan carut marut kalian." Kemudian di lanjutkan dengan cicitannya "Kalian terlihat mengenaskan!"

"Cih!" jawab seorang bangsawan tambun yang meremehkan perkataannya. Namun pria itu melepaskan bangsawan tersebut dan lebih memilih untuk mengantarku pada sang Raja.

Di depan kursi takhta tepatnya di hadapan podium emas terdapat box penjara berwarna emas dengan ukuran 1x2 meter persegi. Saat aku mendekati benda mengerikan itu sang wanita menyebalkan berambut coklat itu merebut tanganku dan melemparku ke dalam penjara hingga pelipisku terbentur jeruji besi dingin nan keras.

"Apa maunya?!" berangku bergumam sembari mengusap lembut pelipisku.

"Berdiri! Raja Hajj Thor dan Ratu Samanta Kaef telah memasuki ruangan!"

Serempak para Duke dan Hokers berdiri dan membungkukkan punggung mereka.

"Hidup Raja Hajj! Hidup Ratu Samanta!" sorak pujian serempak yang membangunkan bulu roma menggema dalam ruangan itu.

Kemudian mereka kembali tenang dan duduk.

Mataku terus menyalang pada sang Ratu yang pongahnya tiada tanding dengan tatapan yang melambangkan siapa dirinya sebenarnya.

Prajurit wanita berambut coklat berdiri di sampingku. Barulah datang seseorang berpakaian toga, tangan kanannya membawa palu dan tangan kirinya menggenggam sebuah kitab.

Dan di belakangnya terdapat setidaknya sepuluh Mage yang menggenggam Howthorn. Saat melihat tonkat itu bayangan Jervin melintas di benakku. "Aku merindukan Jervin."

Setelah pembukaan baralah mereka memulai persidangan.

"Dengan ini keluarga Grotbear telah di jadikan tersangka atas pembunuhan salah satu Duke Hokers dari keluarga Margaret dan menyembunyikan makhluk terkutuk. Apakah itu benar?" tanya sang hakim.

"Benar!" jawab wanita berambut coklat.

Dia menatapku dan aku melenggakkan kepala padanya dengan menyalangkan mata. Dia hanya tersenyum ketus dan membuang wajahnya.

Setelah semua pertanyaan di jawab seorang pria yang bersamaku tadi mengangkat tangannya.

"Ada instruksi?" tanya sang hakim.

Pria itu berdiri dan berkata dengan lantang. "Aku belum pernah melihatnya melakukan itu semua, apa ada bukti terkait kasus yang di lemparkan padanya?"

Brek!

Bunyi kursi singgasana sang Ratu. Sekelebat wajah sang Ratu menjadi menakutkan layaknya Nenek sihir. Kemudian ia turun dan merebut tombak pengawal.

"Apa kau menginginkan bukti? Aku akan menunjukkannya padamu."

Dengan cepat dia mendatangiku dan menyambarku.

Jleb!

"Aaa'a—!" mata tombak runcing menghunjam tepat di pahaku.

Launganku tak dapat keluar karena terkejut dan rasa sakit tusukan tersebut.

"Sayang! Apa yang kau lakukan?!" teriak Raja Hajj yang terkejut dengan kelakuan istrinya.

"Apa kau tidak melihatnya?" jawab sang Ratu.

Tatapannya benar-benar membuat sang Raja bergidik dan membisu.

Tubuhku pegal melihat pahaku yang tersibak dalam hingga hampir menyentuh tulangku. darah mulai memenuhi kakiku, Rasa sakit itu membuat tubuhku panas dingin dan memuntahkan semua isi perutku.

"Nah! Tunjukkan siapa dirimu sebenarnya!" bisik ancam sang Ratu padaku.

Mataku kabur, suaraku mulai parau, pikiranku kalut. "Aku tidak kuat lagi!" tulang punggungku tidak kuat lagi menopang tubuhku, dengan spontan aku terjatuh dan membenturkan diriku pada jeruji besi.

Sebagian bangsawan terperanjat namun Ratu menyalangkan mata pada mereka sehingga membuat mereka duduk kembali.

"Apa kau ingin menyembunyikan jati dirimu gadis terkutuk!"

Kemudian sang Ratu terus menghujani kakiku dengan tombak hingga mengenai urat lututku dan nyaris terlepas.

"Haaaaaa!" eranganku menggelegar dalam istana.

Jelaga sihir mulai berkumpul dan memenuhi tungkaiku layaknya makanan yang di selubungi semut.

Teriakanku tak berhenti hingga kakiku sembuh kembali.

"Lihat! Inilah wujud asli gadis desa terkutuk. Hahaha!" sang Ratu terkekeh puas saat melihat hasil yang ia inginkan terlihat di hadapannya.

"Hadun karamzi kal aimanik kudaf!"

***

Aku tenggelam. Dalam pikiranku aku hanya merasakan dekapan hangat sang Nenek, di sampingku terdapat Piko yang masih lembut seperti biasanya, genggaman tangan Jervin yang menenangkan diriku.

Gelap. Hening. Tak ada cahaya atau pelita yang menyinari diriku. "Di mana aku?" hanya itu yang terpikir olehku. Setitik cahaya kecil di ujung pelupuk mataku mulai menerangi lamunanku.

Saat aku menyentuhnya aku terlempar ke hadapan sebuah bola hitam besar mengambang di hadapanku.

"Apa kau orang 'Tersebut'?" tanya suara misterius yang mendesir lembut di telingaku.

"Siapa?"

Kemudian bola itu melunak dan menyusut. Tanpa sadar aku telah beringsut ke belakang. Betapa mengerikannya pembentukan wujud baru bola tersebut.

Aku benar-benar ketakutan. "Tolong jangan ambil apa-apa lagi dariku tolong!" aku meletakkan keningku di hadapannya.

Tetasan air mataku tak kunjung kering.

"Tolong! Nenek telah tiada, Jervin, Piko. Mereka semua telah di renggut. Cukup jangan kau ambil apa pun lagi dariku!" keluhku agar dia mau mendengarkanku.

"Angkatlah wajahmu!" Suaranya berat berwibawa.

Dengan perlahan tapi pasti aku melenggakkan kepalaku dan melihat seorang pria dengan tubuh yang penuh dengan tombak.

"Apa yang —?"

Pria itu melihatku dengan mata hitamnya. Tubuhnya hitam, matanya hitam, seluruh tubuhnya hitam pekat layaknya minyak bumi.

"Inilah yang akan terjadi saat para manusia tidak lagi menggunakan akal pikirannya, saat manusia tak lagi memikirkan tentang dosanya, saat manusia tak lagi mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk.

Mereka di butakan oleh nafsu, harta, takhta, wanita, anak. Sehingga kehancuran datang menjumpai mereka. Lihatlah!"

Kemudian pria itu melempar jelaga hitam yang membentuk sebuah layar besar dan aku tidak mampu untuk mengerjapkan mataku saat pria itu menunjukkan rahasia tentang Palka dalam jelaga itu.

**To Be Continue**