Chereads / School of Persona / Chapter 15 - "Saya Pernah Dengar"

Chapter 15 - "Saya Pernah Dengar"

Marisa Narinda Abidin, alias Marisa, alias Abidin tengah sibuk dengan kamera mirrorless, tipod, ring light cukup besar di ruang belajar bersama asrama. Manty, Dhaiva dan Wibi turut ada disana, memperhatikan gerak gerik si Wakil Sekretaris SP mengutak-ngatik set kamera untuk percobaan perekaman musik mereka berempat minggu depan.

Tiga orang itu diberi gelar Master of Art oleh anak-anak karena bakatnya. Keempat orang itu bisa bermain musik, melukis, dan menari. Ditambah spesialisasi lainnya, seperti Manty yang merupakan seorang sutradara film pendek di sekolahnya dengan karya-karya cukup terkenal, dan Wibi yang seorang penyiar di stasiun radio cukup besar di Jakarta. Dhaiva sudah dikenal luas sebagai penyanyi solo folk-indie dan sudah diakui karyanya di satu agensi, dan Abidin yang merupakan murid setia Haikal di bidang fotografi.

Sekali lagi, seluruh penghuni SP itu berbakat.

"Ini bakal ala-ala light academia, atau summer academia deh. Background nya mendukung," ujar Abidin sembari masih mengatur fokus yang tepat.

Manty mengangguk-ngangguk, "Bener sih Din. Tapi konsep channel musik Kita tuh sebenernya lights gak sih? Ini agak dark sebenarnya, meskipun Lo bilang tadi ini light academia," tanyanya.

"Hmm ... mungkin menyesuaikan aja Man. Season satu Kita kan emang mau remake lagu-lagu lawas, cocok lah disini. Next season kalau agak cerah Kita cari spot lain aja," saran Wibi yang turut diangguki Dhaiva.

"Oke deh." Manty akhirnya setuju. Si pemegang cajon itu kembali ke tempatnya, mencocokkan ketukan dengan lagu uji coba mereka.

"Bakal keren sih ini Guys." Abidin selesai dengan setelan kameranya. "Coba kalian disana, mainkan instrumen masing-masing," titahnya kemudian. Dhaiva dan Wibi menurut, mengambil instrumen masing-masing. Dhaiva gitar akustik, Wibi flute, dan Abidin nanti memainkan piano.

Komposisi musik yang menarik.

"Oke sekar ..."

"Wihhh ada apa nih rame-rame para seniman?" Nalesha tiba-tiba masuk ke perpusatakaan diikuti Saheera dibelakang. Dari gelagatnya pasti akan ada bahasan program oleh mereka berdua.

"Jadi nih bikin channel musik kalian?" tanya Saheera yang turut penasaran. Wakil Presiden SP itu sangat suka menonton penampilan musik dari keempat mereka, apalagi Wibi dan flutenya.

"Iya nih. Doain ya biar jadi artis terkenal, hahahaha," canda Manty yang disambut tawa garing Saheera dan Nalesha. Bukan apa-apa, tertawanya Manty itu sangat memekakkan telinga, menggema di seluruh perpusatakan. Kalau Wibi, Abidin, dan Dhaiva mungkin sudah terbiasa karena sering bermusik bersama.

Nalesha menaruh tablet dan barang bawaannya yang lain ke meja terdekat, "Kamu sana Din. Biar Saya bantu rekamkan," tawarnya. Peka karena biasanya mereka akan kesulitan di perekaman dan penyuntingan nanti.

"Makasih Pak. Tolong ya," ujarnya yang hanya diangguki Nalesha. Akhirnya formasi tersusun, termasuk Saheera yang akhirnya ikut memperhatikan Nalesha dan grup musik itu dari belakang. "Agak buram Lesh," komentarnya begitu melihat screen kamera.

"Oh? Iya ya. Bentar." Nalesha tanggap, mengatur kembali lensa agar lebih jelas merekam. "Oke. Kamera siaap!" serunya memberi kode.

Grup musik itu mengacungkan jempolnya. Dhaiva sang vokalis sekaligus gitaris sudah siap di posisi paling depan. Detik-detik berikutnya, lantunan melodi sudah terdengar. Lagu lawas tahun 2018 milik Pink berjudul That's What I Know So Far dipilh mereka sebagai lagu uji coba.

"I haven't always been this way ... I wasn't born a renegade ..."

"I felt alone, still feel afraid ... I stumble through it anyway ..."

"I wish someone would've told me that this life is ours to choose, No one's handing you the keys or a book with all the rules ..."

"The little that I know I'll tell to you ..."

"When they dress you up in lies and you're left naked with the truth ..."

Dhaiva keluar dari zona nyamannya, dari genre vokal dan musiknya secara keseluruhan, dari folk-indie menjadi soft rock. Namun Nalesha dan Saheera yang mendengarkan sangat menikmati pertunjukan itu. Suaranya stabil, terharmonisasi dengan baik bersama melodi gitar, piano, flute, dan ketukan cajoon. Benar-benar grup berbakat.

****

Sebuah tabel berisi cukup banyak data namun masih terlihat cukup sederhana tertampil di layar iPad Saheera. iPad itu lantas ditaruhnya di tengah, agar Nalesha turut bisa membaca dengan kepala dan tubuh setengah miring. Keduanya sedang membahas jadwal kegiatan tematik asrama selama setahun ke depan berdasarkan kurikulum SP sebagai acuan.

Ya, disinilah tugas mereka sebagai koordinator dan time keeper KPI asrama. Adriana dan Haikal akan cukup ketat mengawasi mereka, bertanya progress sesuai jadwal evaluasi yang disetujui tempo hari.

"Bulan depan itu kan tinggal … seminggu lagi ya?" tanya Nalesha memastikan. Saheera mengangguk kemudian, "Iya. Satu minggu lagi. Agenda libur nasional yang tersisa itu Christmast dan New Year Eve. Abis itu Kita masuk sekolah, rata-rata di minggu pertama Januari," jelasnya panjang lebar.

"Oke. Kalau begitu program pertama bisa dimulai di minggu kedua ya, biar gak terlalu kaget kalau di minggu pertama," lanjut Nalesha memberikan pertimbangan.

"Ya. Betul, minggu pertama biasanya masih chaos, minimal masih menyesuaikan."

Nalesha mengangguk-ngangguk, lantas mengambil iPad pencil guna menandai kolom kedua paling kiri kalender jadwal bulan Januari 2043, "Okay, noted. Ini program divisimu ya yang pertama jalan? Religious and Theological Affairs," lanjutnya memberi keterangan.

"Yes, my division!" Saheera bersemangat, membuat Nalesha tersenyum tipis. "Jadi gimana rencana kegiatannya? Divisi ini kan selalu mengawali ya, dan harapannya bisa memberikan atau … merefresh mindset Ketuhanan Kita semua."

Saheera mengangguk, kemudian sebelum menjawab terlebih dahulu beberapa slide power point Ia tunjukkan pada si Presiden, "Kurang lebih begini susunan programnya Lesh."

Nalesha menarik iPad itu mendekat padanya, membaca lebih jelas satu per satu slide yang dibuat Saheera dengan sangat rapi berisikan rencana kegiatan. Total ada sebelas slides disana.

"Jadi mungkin as usual Lesh, ada kajian keagamaan, dijadwalkan bisanya hari apa aja, terus apakah mau pergi ke tempat ibadah masing-masing, atau mengundang seseorang untuk kajian rutin atau belajar agama disini. Kan ada fasilitasnya."

Nalesha mengangguk-ngangguk sembari lanjut membaca slides power point.

"Terus kalau untuk program yang sifatnya eventual, per bulan selama tiga bulan Kita akan buka forum dengan isu-isu yang relevan Kita bahas. Mostly tentang … hmm … singgungan antara Agama, Modernisasi Manusia, Saintek, dan gimana cara menemukan irisan ideal diantara ketiga aspek tersebut," lanjut Saheera.

Nalesha lantas memberikan kembali iPad pada pemiliknya, "Program yang bagus. Jadi durasi total tiga bulan? Yang jangka pendeknya itu?" tanyanya.

"Iya. Kalau yang belajar agama rutin tadi itu akan terus ada sampai akhir tahun, sampai Kita lulus. Karena itu esensial, sangat penting untuk menjadi rohani kan?"

"Ya. Saya setuju."

Lanjut keduanya mendiskusikan program-program kerja divisi lain yang sudah dilaporkan pada mereka. Timeline kegiatan selama satu tahun itu menjadi cukup padat, per bulan selalu ada kegiatan tematik mulai dari keagamaan, bisnis, seni, dan sains. Semua itu dilakukan diluar jadwal sekolah mereka yang aslinya sudah cukup padat.

Beruntungnya mereka adalah kegiatan tematik itu tidak terlalu mengikat pada jadwal. Adriana dan Haikal lebih menekankan pada orientasi hasil. Jadwal per bulan itu dibuat fleksibel saja, tidak harus di tanggal sekian ada kegiatan A atau B. Yang penting, output kegiatan itu ada dan dapat dipertanggungjawabkan.

Nalesha dan Saheera akhirnya selesai berdiskusi dan membuat jadwal. Kebetulan adzan zuhur sudah berkumandang, mereka harus bergegas beribadah. Namun sebelum Saheera pergi lebih dulu, ada sesuatu …

"Saheera?" panggilnya.

Saheera menoleh, "Ya? Apa Lesh?"

Nalesha mendekat, kemudian memberikan satu paper bag coklat yang dua malam lalu turut ditunjukannya pada Iqbaal, "Ini buat Kamu."

Saheera sempat terdiam, "Apa ini Lesh?"

"Buka aja. Saya pernah dengar Kamu pengen makan itu."